Bernyanyi Di Taman Indie Yang Luas Nan Lepas

Sebuah status di Twitter menarik perhatian saya malam itu. Ajakan untuk datang melihat peluncuran album kompilasi dari band indie Makassar. Setelah sekian lama tak berinteraksi dengan sudut-sudut kreatif kota itu, rasanya sudah waktunya untuk kembali melihat apa yang terjadi.

Maka saya pun bergegas menuju Circle K di Jalan Sultan Hasanuddin yang sekarang sepertinya terbuka luas bagi kegiatan kreatif di sana. Jam 7 malam adalah penanda waktu dimulainya acara tersebut. Maka pemandangan sejumlah crew berseliweran, entah untuk memperbaiki apa maupun personil band yang mulai bersiap-siap, menjadi pemandangan yang entah kenapa melempar saya kembali ke lebih dari 10 tahun silam.

Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya di SMA Negeri 2 Makassar, saya terbilang cukup rajin mendatangi pentas serupa. Baik di kafe kecil atau di gedung sebesar Manunggal. Meski harus berbohong ke orangtua, namun kesukaan pada musik membuat saya rela nonton hingga larut malam dan terkantuk-kantuk di kelas keesokan paginya.

Situasi yang kurang lebih sama saya alami beberapa tahun setelahnya. Ketika saya sudah kuliah dan menjalani pekerjaan sebagai penyiar radio. Dan suatu kali ditempatkan di posisi sebagai juri sebuah kegiatan serupa. Dari situ saya terpana. “Bukan main potensi anak muda Makassar ini, “ begitu kata saya dalam hati. Waktu itu saya menikmati beragam genre musik dalam satu kegiatan. Bahkan musik jazz yang terbilang eksklusif itupun ada yang membawakannya.

Maka ketika saya hadir di peluncuran album kompilasi berjudul “Taman Indie : Ringing Tree Compilation” itu, ekspektasi saya tentu saja melebihi itu. Melewati 10 tahun tentu saja saya berharap akan ada perkembangan luar biasa. Teknologi semakin liar dan referensi semakin mudah didapatkan menjadi landasan pemikiran saya. Saya punya harapan besar pada album tersebut.

Dan kesempatan mendengarkan album tersebut datang ketika seorang sahabat memberikannya pada saya. Dikemas minimalis dengan sampul didominasi warna putih, album itu belum “berbicara” apapun pada saya. Maka saya mencoba membuang segala ekspektasi yang timbul beberapa waktu sebelumnya.

Dibuka dengan komposisi instrumental dari Melismatis berjudul “Back Home”. Ini langkah cerdik dari tim kreatif dibalik pembuatan album kompilasi ini. Meski tak sesungguhnya baru, namun penempatan nomor ini membuat pendengarnya seperti dilempar ke sebuah taman nan luas, ke sebuah dunia hijau lepas dengan kicau burung yang terdengar riang. Sebuah nomor yang menyegarkan rasa dan raga.

Penempatan ini memang ibarat pisau bermata dua. Menyenangkan sekaligus menjebak. Membuat pendengarnya ingin mengikuti 19 nomor berikutnya namun juga berharap akan mendapat sajian yang serupa segarnya.

Lantas ada Rockradio dengan sejumlah progresi nada yang sekilas terdengar aneh. Tapi ajaibnya tersimak asyik di telinga. “Takkan terbunuh Sepi” yang dilantunkan oleh band ini jika didengarkan paralel dengan “Takkan Menyerah” yang dibawakan oleh Deziva sekilas terasa mirip. Namun Deziva terasa lebih menyentak berkat vokal yang lebih tegas.

Sejumlah nomor saya lewati begitu saja setelah “Takkan Menyerah”. Hingga mendengarkan Walkingbubble dengan “Concept and Verbal Abuse”. Meski saya tak bisa menangkap isi lagunya, tapi menarik juga menyimak perpaduan raungan gitar dan suara synth komputer.

Bisa jadi yang paling beda dari 19 nomor lainnya di album ini adalah ketika mencelat genre ska yang sudah lama tak kita raba jejaknya di udara. “Kau Cantik” dari Ska with Klasik terdengar seperti ska namun dengan banyak pengaruh genre musik didalamnya.

Sebagai produser film, ketika mendengarkan sebuah album, insting biasanya membawa saya mencari lagu yang “filmis”. Setelah mendengar 17 nomor, saya mulai putus asa. Sampai mendengarkan “Nobody”-nya Delight Monday. Lagu mellow yang sungguh lezat untuk mendampingi adegan galau dalam film. Lagu ini sekaligus menjadi favorit saya di “Ringing Tree”. Saya seperti mendengar Regina Spektor bernyanyi!

Yang menjadi catatan saya dari album ini adalah ketika 20 band didalamnya menggunakan nama dalam bahasa asing. Ini fenomena menarik. Apakah bahasa Indonesia, termasuk bahasa Makassar, tak terdengar keren bagi generasi masa kini? Yang juga menjadi perhatian saya adalah ketika sejumlah band seperti memaksakan bernyanyi dalam bahasa asing. Kenapa harus demikian? Padahal menurut saya bahasa Indonesia sungguh lentur untuk dijadikan lirik canggih.

Selebihnya adalah kualitas teknis yang perlu diperbaiki. Sebuah produk yang dijual dan bertarung dengan sejumlah produk lain di pasar semestinya mendorong kualitas teknis ke tingkat maksimal agar lebih renyah terdengar di telinga.

Dan saya pun cukup puas mendengarkan album kompilasi ini. Namun setelah mendengarkan 20 nomor didalamnya beberapa kali, saya masih tak mengerti mengapa album ini diberi judul “Ringing Tree”.

(Ichwan Persada — @ichwanpersada)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (180 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


four − = 3

You may use these HTML tags and attributes: