Orang menyebutnya kampung Buloa. Terletak di pesisir barat Makassar, tempat Sungai Tallo bermuara. Konon wilayah itu adalah bekas pusat Kerajaan Tallo. Dua tahun lalu, masih dipenuhi rumah-rumah panggung yang berjejal memenuhi lorong demi lorong. Saban hari, air laut Selat Makassar pasang surut di halaman rumah mereka.
Dari cerita para orang tua, kampung itu dinamai Buloa karena dulu wilayah ini penuh bambu. Dalam bahasa Makassar, Buloa memang berarti bambu. Sebelum ada jalanan dari paving block seperti sekarang, warga hanya melintasi bambu-bambu yang dibuat seperti jembatan darurat untuk menjangkau rumah mereka. Kalau tak hati-hati, mereka bisa terjun di laut. Bambu-bambu itulah ‘penyambung’ hidup mereka.
Penimbunan di pesisir Buloa. Hari demi hari truk dan alat berat menimbun kawasan yang dulunya pantai dan tempat tinggal warga Buloa ini. Daerah ini kini telah ‘ditanami’ pohon-pohon agar terlihat seperti daratan yang telah lama ada. (Foto: Doc. LAW Unhas)
Mulanya, Buloa merupakan tempat tinggal para nelayan yang datang dari wilayah-wilayah lain di Sulawesi Selatan, seperti Pangkep, Maros, Barru, dan Takalar. Seorang warga bernama Daeng Rahim mengaku bahwa ia sudah menempati kampung ini satu tahun sejak Soeharto dilantik menjadi presiden. Saat ia datang, tempat ini hanyalah laut yang dipenuhi patok-patok bambu. Tak berpenghuni.
Daeng Ma’ing, warga Buloa lainnya, mengungkapkan bahwa sejak ia datang ke wilayah ini pada tahun 1990an, rumah yang ia tempati sekarang masih berupa “rumah apung” dengan kedalaman sekitar 1,5 meter.
Rumah-rumah ‘terapung’ tersebut perlahan-lahan mulai memiliki ‘halaman’. Ketika dilakukan pengerukan Pelabuhan Paotere dan PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) di sekitar Buloa, pasir hasil pengerukan terbawa hingga ke Buloa. Pasir inilah yang kemudian oleh warga mereka kumpulkan hari demi hari untuk sekedar membuat ‘halaman’ bagi rumah mereka. Warga lantas berinisiatif pula untuk membuat jalanan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda dua. Oleh pemerintah, melalui proyek Dinas Pekerjaan Umum (PU) dibuatlah lorong beton sekaligus penahan agar air laut tidak menggenangi rumah.
Sekitar 300 KK berkehidupan di wilayah bersejarah ini. Para nelayan tradisional di Buloa melaut tanpa mengenal musim. Alasannya sederhana: tidak melaut, tidak makan.
Tidak hanya nelayan, warga Buloa juga ada yang berprofesi sebagai buruh, tukang becak, supir angkutan, hingga guru. Mereka sudah hidup, berketurunan, dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai warga Buloa.
**
Lalu kota berubah rupa.
Modal datang. Rencana pembangunan Makassar New Port dan revitalisasi Sungai Tallo menggelinding. Sebagaimana ditulis Friedrich Engels hampir 150 tahun lalu bahwa, “pertumbuhan kota-kota besar modern, khususnya di area-area yang menjadi pusat situasi, memicu meningkatnya nilai tanah secara luar biasa dan artifisial”. Tak terkecuali Buloa. Dari sebuah perkampungan pesisir yang tidak terurus, Buloa kemudian dilihat sebagai lautan rupiah
Para spekulan tanah masuk. Mereka kemudian beramai-ramai mengklaim tanah, bahkan laut.
Awal tahun 2012 silam, seorang yang kerap disapa Bu Ros datang. Ia mengklaim bahwa wilayah pesisir yang ditinggali oleh para nelayan Buloa saat ini merupakan tanah warisannnya. Sebagai bukti, ia merujuk pada sertifikat dari BPN No.441. Daeng Rahim, Daeng Ma’ing, dan warga Buloa lainnya kaget. Dengan kekuatan seadanya mereka mencoba protes.
Singkat cerita, setelah melapor ke beberapa instansi pemerintah, pertengahan tahun 2012 pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) datang ke Buloa untuk menyesuaikan gambar lokasi di sertifikat dengan kondisi di lapangan. Faktanya, gambar lokasi yang ada di sertifikat tersebut bukanlah tanah melainkan laut.
Pihak Bu Ros kemudian menyebut bahwa gambar yang ada di sertifikat tersebut adalah empang. Saking yakin atas kebenaran sertifikatnya, pihak Bu Ros bahkan telah memulai proyek penimbunan laut meski belum ada hasil keputusan dari BPN.
Warga tidak tinggal diam. Jika di Seoul pada 1990-an perusahaan konstruksi dan para pengembang menyewa sekumpulan pegulat sumo menjadi pasukan penyerbu komunitas-komunitas di perbukitan kota. Maka di Buloa, para preman juga datang dengan segala intimidasinya. Beberapa kali hampir terjadi konfrontasi antara warga dan preman bayaran.
Untuk lebih meyakinkan, pihak Bu Ros pun kemudian menambahkan pohon-pohon yang sudah mati agar laut timbunan itu terlihat seperti daratan yang sudah lama ada. Timbunan tersebut sangat meresahkan warga terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Gara-gara timbunan itu, akses ke lautpun tertutup. Jolloro’ para nelayan harus ditambatkan jauh ke tengah laut. Belum lagi debu yang begitu mengganggu saat angin bertiup.
Satu per satu warga yang tidak tahan dengan intimidasi dan keadaan sulit di Buloa, mulai pindah. Mereka dibayar dengan uang ganti rugi seadanya.
Mereka yang bertahan terus melawan. Usaha-usaha non-litigasi gencar dilakukan. Warga mengadu kesana kemari. Namun apa lacur, lembaga pemerintah dibuat tak berdaya. Warga Buloa telah mendatangi hampir semua lembaga pemerintah terkait, mulai dari Lurah, Camat, DPRD Kota Makassar, DPRD Provinsi, hingga Gubernur. Semua lembaga tersebut tak bisa berbuat apa-apa, hanya beberapa perwakilan mereka saja yang kemudian turun ke lapangan meninjau lokasi sengketa, setelah itu kembalilah mereka ke kursi hangatnya.
Warga Buloa terus terusir. Dari sekitar 50 rumah, saat itu tinggal tersisa 14 rumah.
**
Anak-anak Buloa ikut protes dalam aksi ke Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi, setahun silam. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah maupun DPRD terkait hal ini. (Foto: Doc. LAW Unhas)
Setelah beberapa proses penimbunan terhenti, pada akhir bulan September 2013 ini kembali warga Buloa yang tersisa diusik. Kali ini dengan modus operandi yang lebih ‘halus’: penataan.
Akan tetapi penataan ini sifatnya sepihak, tanpa ada pembicaraan baik dengan masyarakat maupun pemerintah setempat. Bahkan beberapa rumah telah dipindahkan dalam rangka penataan tersebut, tetapi tak ada laporan yang masuk ke pemerintah setempat bahwa ada pemindahan rumah. Pemindahan rumah tersebut juga mengandung kontroversi, karena bagi warga yang bersedia memindahkan rumahnya akan diberikan uang sebesar 5 juta rupiah, dan akta jual beli (AJB). Dapat dibayangkan sertifikat lahan tersebut masih dalam sengketa tapi pihak Bu Ros menawarkan adanya AJB. Warga pun kemudian berkonsolidasi dan menolak pindah sebelum jelas status sertifikat tersebut di BPN.
Saat ini masyarakat di Buloa kembali resah karena para preman mulai mengisi pos-posnya kembali, ada yang bertugas menjaga timbunan, mengintimidasi warga dan mengusir para pendamping.
Namun warga tak lagi terlihat takut, tempat tinggal mereka saat ini adalah “Butta Passolongangna Ceratta”. Seorang warga Buloa mengaku bahwa ia akan terus mempertahankan rumahnya hingga akhir. Sejak istrinya meninggal, rumah itu adalah satu-satunya tempat dimana ia bisa terus merawat ingatan dan menyadarkan hidupnya. Semangat hidupnya semakin menjauh seperti laut di depan rumahnya yang terasa kian menjauh. Penghasilannya menurun drastis. Para tetangga dan sanak saudara di sekitar rumahnya juga sudah tercerai berai.
Para warga yang tersisa ini tidak tahu lagi harus berharap pada siapa. Penggusuran pasang surut menghantui hidup para keluarga di Sembilan rumah yang masih bertahan. Padahal, keinginan mereka cuma sederhana: Buloa tetap ada. Atau kota ini sudah terbiasa mengusir rakyatnya?**
(Rahmat Januar Noor & Hasrul Eka Putra, keduanya pernah bergiat di Lingkar Advokasi Mahasiswa [LAW] Unhas)