Beberapa pekan setelah sejumlah titik Pasar Sentral menjadi arang dan dindingnya menghitam karena kebakaran pada 2011 lalu, seorang warga merekam daya pulih dan geliat kehidupan di pasar legendaris ini.
Pagi itu, blackberry yang biasanya sunyi senyap tiba-tiba sangat ramai dengan pembicaraan mengenai terbakarnya salah satu pasar paling terkenal di Makassar – Pasar Sentral. Orang-orang ramai mengunggah berbagai versi foto kebakaran Pasar Sentral. (Dalam tulisan ini memang banyak kata “Pasar Sentral” yang lebih tepat disebut “Makassar Mall” tetapi karena kebiasaan, maka saya akan tetap menyebutnya “Pasar Sentral”.)
Memang saya sering melihat berbagai foto kebakaran pasar, rumah penduduk, atau permukiman kumuh di TV dan media lainnya. Tapi saat melihat suatu bangunan yang begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari kita diselimuti api dan asap tebal, ada suatu perasaan yang berbeda: kita menjadi melankolis karena menyadari tidak akan pernah merasakan tempat itu lagi.
Meski tidak sering masuk ke dalam Pasar Sentral – yang gedungnya diberi nama keren Makassar Mall – itu, bangunan lima lantai itu menjadi pemandangan sehari-hari saya yang semasa kecil sering berlalu-lalang di sekitar daerah Sentral.
Pagi itu, saya teringat lorong-lorong sempit penuh penjual tas, sepatu, aksesoris emas imitasi, dan bosara’, yang harus saya lalui untuk mencapai penjual kue langganan saya di lantai dasar.
Pagi itu, saya teringat pernah mengintip dari balik jendela kaca, pemandangan Pasar Sentral basah yang tidak menyenangkan itu – sebuah ruangan pengap bau dengan lantai becek yang dipenuhi pedagang sayuran dan daging.
Pagi itu, saya teringat warna-warni tekstil dan karton gulungan kain yang berserakan di koridor lantai dua dan tiga, mengundang tangan-tangan jahil anak kecil memungut lalu bermain dengannya.
Pagi itu, saya teringat Matahari Department Store di lantai empat yang dingin dan bersih, seperti langit dan bumi bila dibandingkan kondisi di lantai lainnya.
Pagi itu, saya teringat kunjungan terakhir saya di Pasar Sentral, di mana untuk pertama dan terakhir kalinya saya berada di atriumnya yang lega, memandang langit-langit sambil berpikir, mengapa saya tidak pernah melihat atrium ini, dan jawabannya adalah karena saya selalu takut tersesat dalam pasar sehingga menyusuri jalur yang itu-itu saja.
Foto diambil pada 26 Agustus 2011 – Warna-warni tenda pedagang dengan latar belakang bangunan Makassar Mall yang hangus terbakar. [foto: Anita Halim]
Potongan-potongan ingatan yang pendek itu muncul begitu saja tanpa alur yang jelas, sebagian bahkan terasa samar-samar seperti foto usang.
Saya baru berkesempatan menengok Pasar Sentral pada Agustus 2011, dua bulan setelah kebakaran. Berjalan di antara kios-kios penampungan sementara yang letaknya tidak jauh dari lokasi kebakaran, saya mengamati bahwa di luar dugaan, para pedagang telah beraktivitas jual-beli dengan normal. Ketegaran para pedagang itu membuat saya salut.
Namun penampungan yang telah menutupi sebagian Jalan H.O.S Cokroaminoto dan Jalan K.H. Wahid Hasyim ini membuat lalu lintas di sekitar menjadi sangat padat. Sebagai solusi sementara dan atas dasar pemahaman bahwa para pedagang sangat perlu bekerja kembali, kondisi ini mungkin masih bisa dimaklumi.
Tetapi tampaknya kata “sementara” menjadi kurang tepat untuk mendeskripsikan penampungan para pedagang Pasar Sentral ini. Satu tahun setelah kunjungan tersebut, pada bulan Agustus 2012, saya kembali menelusuri daerah pusat kota Makassar ini. Kondisi yang terjadi tidak membaik, tetapi malah semakin semrawut dengan bertambahnya jumlah pedagang di tempat penampungan. Bahkan, beberapa ruas jalan seperti Jalan Irian, Jalan Nusakambangan, dan Jalan Diponegoro juga digunakan untuk menempatkan kios-kios.
Kios penampungan bertebaran ibarat jamur di musim hujan. Ironisnya, tidak semua kios itu berpenghuni. Hampir semua kios di Jalan Irian tidak dimanfaatkan, sementara di sepanjang Jalan Diponegoro hanya ada beberapa pedagang makanan kecil yang terlihat melamun di kios penampungannya yang sepi.
Di sisi yang lain, di sepanjang Jalan H.O.S Cokroaminoto dan Jalan K.H. Wahid Hasyim, kios-kios yang ada tampak kebanjiran pembeli yang telah bersiap-siap menyetok keperluan hari raya yang tahun ini jatuh pada bulan Agustus. Setelah setahun berdiri, kios-kios “sementara” ini telah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Bila dibandingkan dengan Gedung Pasar Sentral yang lama, hamparan pedagang kios ini memang lebih nyaman. Pembeli tidak perlu masuk ke dalam gedung yang panas dan pengap lalu menaiki eskalator yang lebih sering tidak berfungsi itu.
Kios penampungan telah berubah menjadi pedestrian mall yang semarak. Kios-kios yang semula hanya berupa konstruksi papan-papan sederhana, kini telah berevolusi sehingga ada yang lantainya telah dipasang dengan keramik, jauh dari istilah “sementara”.
Memang, kondisi seperti ini seringkali membuat orang merasa serba salah. Para pedagang memang perlu diberikan tempat berjualan, namun berjualan di badan jalan juga bukan solusi yang tepat. Lalu bagaimana dengan gedung Pasar Sentral?
Terakhir kali saya mengunjungi lokasi tersebut, terlihat beberapa tukang yang sedang membongkar gedung. Tampaknya (ya, kita hanya selalu bisa mengatakan tampaknya karena tidak pernah mendengar pengumuman resmi rencana yang akan dilakukan pihak bersangkutan terkait nasib Pasar Sentral) gedung ini akan dirubuhkan dan diganti dengan yang baru, yang katanya akan memiliki tujuh lantai.
Menyadari bahwa saat ini saya lebih sering berada di luar kota sehingga mungkin saat kembali ke lokasi tersebut Gedung Pasar Sentral telah rata dengan tanah, maka saya pun mengambil beberapa gambar gedung yang akan segera pensiun itu.
Mungkin tidak lama lagi di tempat yang sama akan berdiri suatu gedung baru yang mentereng, dengan kulit bangunan dari panel-panel aluminium komposit berwarna cerah (seperti pada MTC dan Trans Studio Mall). Namun dengan adanya foto-foto ini, maka saya akan selalu mengingat gedung sederhana itu, yang di saat senja hari, dinding bercat hijau-merah muda pudarnya memantulkan cahaya matahari lemah, menandakan bahwa saya sudah hampir sampai di rumah.
(Anita Halim, @anitahalim, warga Makassar, termasuk generasi yang tidak pernah melihat Pasar Sentral yang asli, hanya mengenal Pasar Sentral yang berada dalam Gedung Makassar Mall)
keren tulisannya….
pasar itu ibarat jantung masyarakat, tempat roda ekonomi berputar setiap waktu, tempat semua kepentingan bertemu. sayangnya, banyak yg mencoba mengambil jantung itu dan mengubahnya menjadi emas buat diri sendiri…:(
nice….