Di Antara Mimpi dan Kenangan tentang Makassar

Malam di bulan Juni di Makassar. Keakraban terasa menyelimuti ruang yang berpendar hangat diterpa sejumlah lampu bercahaya putih. Ruang yang belum sepenuhnya jadi itu adalah satu di antara sejumlah ruang yang tengah dibangun di Rumata, sebuah rumah budaya yang didirikan di ibukota provinsi Sulawesi Selatan itu.

Di ruang itu saya dihadiahi buku kumpulan cerpen Makkunrai dari Lily Yulianti Farid. Saya mengenalnya via dunia maya, yang membuat dunia terasa sempit, bertahun lampau karena sebuah kesamaan: kami sama-sama lahir 16 Juli. Tapi baru kali ini saya berkesempatan mengenal Lily secara lebih dalam, mencoba memahami isi raga dan jiwanya melalui karyanya.

Dan saya terkaget-kaget ketika membaca 11 kisah di dalam kumpulan cerpen yang diberi judul yang berarti ‘perempuan’ itu. Dengan bahasa yang tetap puitis tapi tetap membumi, tak menggelora dan terasa menahan diri, saya menikmati sejumlah kisah di dalamnya, termasuk Ayahmu Bulan, Engkau Matahari (ABEM).

Maka saya menjadi orang kesekian yang menunggu dengan setia kapan kiranya Lily melahirkan karya kembali.

Dan penantian saya hanya butuh waktu tiga bulan. ABEM kini dijadikan judul kumpulan cerpennya yang kali ini didistribusikan oleh penerbit nasional. Dengan demikian makin terbuka peluang bagi segenap isi jiwa dan raga Lily untuk diresapi pembaca secara lebih luas.

Yang menarik dari 17 cerita pendek karya Lily adalah tak terlihat upayanya untuk membuat kisahnya terasa pretensius. Padahal ia mengimbuhi cerita-ceritanya dengan isu besar: SARA hingga perdamaian dunia. Ada kesamaan pandang antara saya dan Lily dalam mengemas isu besar, sebagaimana yang saya lakukan dalam film dokumenter saya “Cerita Dari Tapal Batas”. Yaitu bagaimana “membumikan” isu besar itu agar bisa diterima khalayak tanpa perlu dibesar-besarkan lagi.

Seperti dalam “Maiasaura”, Lily membenturkan kisah sederhana tentang cinta tak berbatas seorang ibu kepada putri ciliknya dengan peperangan yang terjadi di Ramallah. Latar belakang Lily sebagai jurnalis berperan besar membuat ia bisa meramu isu besar namun pedih itu dengan jernih. Ia menghamparkan fakta bercampur fiksi kepada kita untuk mencernanya, mengunyahnya, namun secara perlahan-lahan meminta kita untuk larut dalam kepedihan di sana. Dalam perang, bayi-bayi di Tepi Barat, di Jalur Gaza maupun di wilayah konflik lainnya di sekujur muka bumi, sudah terisak menyaksikan nasibnya kelak sebelum terlahir di dunia. Hati kita pun terasa pedih bersama tokoh Ibu yang membawa kita melihat langsung kejadian di sana.

Sementara dalam “Kecap”, Lily mengorek kembali luka lama yang terjadi 15 tahun silam. Ketika Makassar menjadi lautan api, ketika kebencian tak berdasar berubah menjadi bara api yang membutakan mata.

Makassar tahun 1997 adalah sebuah kenangan pahit, terutama bagi etnis Tionghoa. Dipicu kabar seorang pembantu rumah tangga dianiaya majikannya yang (kebetulan) etnis Tionghoa hingga tewas membuat masyarakat bergerak. Dan tokoh Nayu terkurung di tengah perayaan ulang tahunnya yang semestinya meriah oleh nyala lilin, bukan nyala api yang buas membakar rumah.

Dalam kisah “Kecap”, Lily menyodorkan ironi nan perih namun masih bisa ditertawai. Ini sebuah kisah seorang ayah yang menghadiahi putrinya sebotol kecap di ulang tahunnya yang ke-12. Kisah terentang panjang hingga sang ayah beranjak tua dan putrinya berjibaku dengan rumah tangganya yang bubar lantaran dirinya tak bisa hamil. Asyik sekali membiarkan diri kita dibawa oleh Lily menjelajahi kenangan yang bisa jadi kita semua punya dengan ayah kita.

ABEM adalah mimpi, sebagian di antaranya buruk, dan kenangan. Bagi mereka yang pernah tinggal di Makassar maupun di belahan lain dari Sulawesi Selatan, buku ini memberi pengalaman emosional yang serta merta melempar kita kembali ke masa lalu. Berenang-renang di antara mimpi yang mungkin saja buruk dan kenangan yang bisa saja terasa manis.

Ketika membaca kisah “Kelas 1-9″, sontak membuat saya teringat pengalaman ketika bersekolah di SMA Negeri 2 Makassar, sebuah sekolah favorit di sana. Lily pun adalah jebolan sekolah itu. Saya tersenyum-senyum membaca kisah tentang seorang siswa dari keluarga miskin yang berjuang keras berusaha diterima di SMA XIX. Saya tersenyum pahit membaca si siswa, Marayya, yang menjadi tumpuan bagi teman-temannya yang miskin ilmu namun kaya harta. Dan saya hanya cuma bisa terdiam ketika membaca sepenggal kisah di dalamnya yang memuat sebuah kelas yang dihuni oleh siswa dari kalangan berada namun tak lulus seleksi ketat. Sesungguhnya ini tamparan dari Lily buat kami yang pernah bersekolah di sana dan menganggap kondisi itu biasa saja. Hampir terasa seperti menganggap korupsi adalah hal yang jamak dilakukan di negeri ini.

Sementara dalam “Dapur”, Lily mengolah adonan terigu dengan bau tengik bernama korupsi. Yang dijalin bersamaan dengan kenangan saya tentang pembantu rumah tangga di masa kecil dari Ambon. Yang membuat saya jatuh cinta pada sejumlah cerpen Lily adalah bagaimana ia membungkus ide sederhana dan memilinnya dengan sejumlah isu yang kontekstual, yang terasa tak lapuk dimakan zaman. Lily adalah pengamat kehidupan yang cemerlang yang terasa dengan jelas dalam “Dapur”. Kelebihan yang ditunjang dengan keberpihakannya dalam melawan sejumlah hal yang dianggap biasa di zaman ini, yaitu korupsi.

Korupsi memang sungguh keterlaluan di negeri ini, sudah bukan pada taraf mengganggu lagi, tapi sudah sampai pada tahap membahayakan. Lily pun sampai harus membahasnya dalam sejumlah cerpen sekaligus. “Ruang Keluarga” membongkar kebobrokan sebuah keluarga terpandang dengan seorang anak yang hamil di luar nikah dan anak lainnya meninggal karena overdosis, dengan bapak yang dipenjara karena penggelapan pajak dan ibu yang menjelajahi dunia entah untuk apa. Kisah yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris itu memang menjadi karya Lily yang paling subtil. Ide tentang ruang keluarga tempat bermuaranya pintu kamar para penghuninya adalah ide brilian. Dan Lily mengolah ide brilian itu menjadi sebuah kisah yang menjadi cerminan rumah tangga sejumlah keluarga terpandang di negeri ini.

Kisah “Gurita” juga berbasis pada isu korupsi. Tentang seorang anak yang mesti membuang mimpinya ke selokan sebagai pembuat film animasi demi ambisi sang ibu. Sang ayah terjerat kasus korupsi pembangunan pelabuhan dan bandara yang berujung pada 2 hal: murka berlarat-larat dari sang istri dan penjara.

Ke-17 kisah dalam ABEM mewakili perempuan dari rentang usia yang dinamis dan kelas sosial yang berbeda. Dan tak semuanya manis. Disinilah menariknya. Lily tak melihat perempuan bagaikan malaikat sehingga membuatnya hanya sebagai korban atau protagonis semata.

Dalam “Gurita”, perlahan tapi pasti sang istri yang murka dengan sang suami yang terjerat kasus korupsi mengikuti jejaknya. Perempuan juga manusia dan Lily Yulianti adalah pengamat manusia yang tak berat sebelah.

Dan di sinilah titik berartinya buku kumpulan cerpen ABEM. Ia tak hanya memberi sumbangsih pada dunia sastrawi, namun juga memberi kita jendela besar pada apa yang terjadi pada manusia di masa lampau dan di zaman kini.

Buku : Ayahmu Bulan, Engkau Matahari (Kumpulan Cerpen)

Penulis : Lily Yulianti Farid

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Juli 2012

(Ichwan Persada@ichwanpersada – Produser Film – Domisili di Jakarta)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar