Apa yang akan terjadi bila musik modern asal Makassar bertemu dengan musik keramik dari Majalengka?
Aksi panggung Melismatis di Jatiwangi Art Factory. [foto: Farid Wajdi]
Penat masih terasa di tubuh saya. Perjalanan dari Papua ke Jakarta baru saja saya lalui dalam waktu kurang dari 24 jam. Namun kali ini saya merasa perlu untuk kembali menempuh perjalanan panjang. Ada dua kata kunci yang menjadi alasan kuat saya untuk rela menempuh bermobil selama 10 jam pulang pergi: Melismatis dan Jatiwangi Art Factory.
Belum lama saya mengenal Melismatis. Bulan Agustus 2012 saya berkenalan dengan mereka via sepotong komposisi instrumental di album kompilasi “Ringing Tree”. Sebuah nomor yang serta merta menjadikan saya sebagai pengagum band asal Makassar ini.
Lantas saya berkenalan lebih jauh dengan mereka via Juang Mallibu Manyala yang menjadi otak dari band ini. Sosok anak muda energik ini tak berbeda jauh dari pemuda kebanyakan. Namun ketika berbicara dengannya, ada satu kesepahaman dengannya bahwa bermusik dan tentunya berkesenian membutuhkan visi. Terutama visi untuk membawa musik melewati batas maupun pagar yang selama ini melingkupinya. Bahwa musik bisa menjadi corong untuk bersuara, tentang apa saja, terutama dengan problematika yang terjadi pada saat ini. Bagi saya sendiri, karya sejatinya kontekstual, ia tak lepas dari zaman pada saat penciptaannya.
Ketika mendengar mereka melakukan mini tur di 4 kota, saya memaksakan diri di tengah jadwal padat untuk bisa melihat penampilan mereka di panggung. Dari keempat kota itu, saya memilih untuk bertualang ke Majalengka bersama 3 teman lainnya. Tak memilih Jakarta, Bandung, atau Makassar yang juga menjadi kota tujuan tur mereka.
Ada apa dengan Majalengka? Apa yang membuat kota itu istimewa? Majalengka memang nyaris sangat jarang terdengar kiprahnya di percaturan musik tanah air. Tapi tak banyak yang tahu bahwa Majalengka punya sebuah kawasan yang lekat dengan karya seni alternatif. Salah satu kota kabupaten di provinsi Jawa Barat itu punya Jatiwangi Art Factory (JAF).
Dalam laman blog-nya, Jatiwangi Art Factory menyebut dirinya sebagai “sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal pedesaan lewat kegiatan seni dan budaya seperti festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio, dan pendidikan.”
Jatiwangi sebagai sebuah kota kecamatan terkenal dengan produk industri genteng. Ia juga diingat masyarakat sebagai kota kelahiran sastrawan ternama, Ajip Rosidi. Dan kini berkat Jatiwangi Art Factory, kota ini mulai memunculkan identitasnya sebagai kota penghasil seniman musik keramik.
Juang mengenal JAF setelah melakukan tugas penelitiannya. Dan ia terpana ketika menyaksikan seniman mengkreasikan keramik dalam berbagai bentuknya sebagai alat musik. Dan kami yang datang dari Jakarta pun tak kalah terpananya ketika melihat alat musik berbentuk keramik itu dimainkan sebagai bagian dari penampilan Melismatis di #FindingMoonTour -nya.
Melismatis beraksi! [foto: Farid Wajdi]
Badan boleh letih, namun kami tak kendur semangat sama sekali. Setiba di Jatiwangi, kami disambut oleh suguhan band yang seluruh anggotanya adalah polisi. Lengkap dengan seragamnya yang begitu mudah dikenali. Tapi jauh berbeda dengan mantan polisi Norman Kamaru yang menyanyikan lagu India mendayu-dayu, 4 orang polisi ini memilih memainkan lagu berirama menyentak. Tentu saja membuat suasana semakin hangat di tengah temaramnya cahaya lampu. Teriakan encore bahkan terdengar hingga dua kali yang membuat band polisi itu menyanyikan 3 lagu tambahan sebelum menutup aksinya.
Jangan bayangkan bahwa Melismatis akan tampil di panggung megah di sana. Tak ada panggung sesungguhnya, hanya ada penonton yang berdiri dengan sejumlah kursi plastik yang lazim digunakan pada saat acara pernikahan. Cahaya lampu pun temaram ala kadarnya. Maka kompromi dilakukan ketika Melismatis membawa sendiri tata lampu yang sesungguhnya juga sederhana. Juga dengan membawa alat musik dan sound system sendiri. Kelihatan niat mereka untuk menyajikan penampilan terbaik. Mereka tak hirau sama sekali bahwa yang menonton mereka bukanlah anak muda dengan pakaian trendi dan beraroma wangi laiknya pengunjung mal. Karena di tengah anak muda, ada sejumlah tokoh desa, hansip hingga perempuan berjilbab yang menantikan aksi mereka.
Tiga lagu lantas dibawakan berturut-turut oleh Ardhyanta Tajuddin Sampetoding (lead vocal/organ/toys instrument), Arif Fitrawan (keys/synth/back vox), Juang Mallibu Manyala (guitar/back vox), Asrullah Ahmad Manyala (guitar/back vox), Andi Hendra Saputra (bass/back vox) dan Muhammad Ikhsan (drum/percussion) ini. “Sepi”, “Sempit” dan “Saya Suka Senyummu di Bawah Hujan” membawa kemeriahan di Minggu malam, 14 Oktober 2012, itu. Sesekali Juang sebagai frontman berkomunikasi dengan penonton. Berkali-kali pula ia menghaturkan terima kasih dan penghormatan karena telah diterima dengan baik di Jatiwangi. “Seperti judul film saja nih. From Makassar to Majalengka with Love, “ bisik teman di samping saya.
Aksi mereka dilanjutkan lagi dengan “Sedikit Ke Timur” dan “Gloria”. Di lagu yang disebutkan terakhir itu, Melismatis meminta penonton untuk bertepuk tangan dengan hentakan tertentu yang menjadi bagian penting dari lagu.
Dan yang paling kami tunggu adalah kolaborasi musik modern dari Melismatis dengan musik keramik dari Majalengka. Seniman yang menamakan diri “Hanya Tera” yang menjadi bagian dari JAF menyatukan diri dengan Melismatis di nomor “Senja Gelap Terang”. Ya, kali ini saya mengamini perkataan teman sebelumnya. Hanya kecintaan yang sama pada musik dan kesenian pada umumnya yang membuat Makassar terasa begitu dekat dengan Majalengka di malam itu. Magis! Luar Biasa! Entah kata apalagi yang bisa dilontarkan demi mewakili penampilan mereka yang megah di tengah kesederhanaan acara tersebut.
Musik memang bahasa yang universal. Baik Melismatis maupun Hanya Tera membuktikan bahwa musik bisa melompati sekat, melewati batas yang selama ini sering dibuat sendiri oleh penggiatnya. Ketika itu terjadi, maka hasilnya adalah harmoni. Keseimbangan dalam laku gerak dan visi misi.
Dan saya pun merasa puas dengan perjalanan kali ini yang jika boleh saya sebut sebagai “perjalanan spiritual”. Ketika kebosanan melanda akibat musik yang makin terdengar repetitif, kolaborasi musik modern dan musik keramik menjadi pemuas dahaga. Dan Melismatis harus diberi acungan dua jempol karena memilih melakukan tur di sebuah tempat yang jauh dari hingar bingar musik. Sungguh perlu menjelajahi negeri maha luas ini demi menemukan tempat seperti Jatiwangi ini, tempat musik tak hanya untuk dimainkan tapi juga untuk diciptakan ulang dan dielaborasikan.
Video “Senja Gelap Terang” yang terekam di telepon genggam pun menjadi peneman saya ketika melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini ke Kepulauan Aru yang berbatasan (laut) langsung dengan Australia. Ditemani musik Melismatis yang menjelajahi batas, saya pun beroleh pengalaman untuk kembali bersentuhan dengan batas terluar dari negeri dengan lebih dari 17 ribu pulau ini.[]
(Ichwan Persada – @ichwanpersada – produser film, tinggal di Jakarta)