Kajao La Liddong, Pemikir Besar Tanah Bugis [I]

ilustrasi

Nama Kajao La Liddong (atau Kajao La Liddo) mungkin sudah akrab di telinga warga Makassar karena dijadikan nama jalan di sebelah barat lapangan Karebosi. Tapi masih sedikit yang tahu siapa sebenarnya Kajao La Liddong. Berikut sedikit cerita tentang siapa sebenarnya Kajao La Liddong.

Kajao dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada masa abad XVI, atau masa pemerintahan Raja Bone VI La Uliyo Botee (1543-1568) dan raja Bone VII Tenri Rongkang Bongkange (1568-1584). Kegemilangan pikiran Kajao terbukti dengan banyaknya hasil pemikiran beliau yang digunakan sebaga dasar dalam menetapkan hukum pemerintahan dan ketatanegaraan.

Kelebihan lain yang dimiliki Kajao adalah kemampuannya berdiplomasi. Kemampuan inilah yang akhirnya mampu menyatukan kerajaan Bugis (Bone, Soppeng dan Wajo) dalam satu aliansi. Ikrar aliansi ketiga kerajaan tersebut dikenal dengan nama Lamumpatue Timurung (1582) pasa masa pemerintahan Tenri Rawe Bongkange. Tanda ikrar aliansi itu adalah ketika tiga raja yaitu: Tenri Rawe Bongkange (Bone), La Mappaleppe Patoloe (Soppeng) dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) sama-sama menenggelamkan tiga batu.

Peran besar Kajao La Liddong bukan cuma menyatukan ketiga kerajaan Bugis tersebut, tapi juga dalam perjanjian Caleppa (Ulu kanayya ri Caleppa) antara kerajaan Bone dan Gowa. Pada masa itu kerajaan Gowa dikenal sebagai kerajaan terkuat di jazirah Sulawesi. Kekuasaan kerajaan Gowa membesar dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan lain secara damai maupun dengan kekerasaan.

Kerajaan Bone yang saat itu perlahan mulai terdesak oleh dominasi kerajaan Gowa mulai mempersiapkan diri dengan melatih para pemuda dalam pusat-pusat pelatihan. Salah satu pesertanya adalah Kajao La Liddong muda. Kajao yang memang punya bakat cemerlang menemukan tempat yang tepat untuk menempa bakat-bakat luar biasa yang dia miliki hingga akhirnya dipercaya sebagai pemikir istana Raja Bone.

Masa Awal Kajao La Liddong

Kajao La Liddong terlahir dengan nama La Mellong, diperkirakan dia lahir pada 1507 atau pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau (1496-1516) yang sama dengan masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre To Mapakrisi Kallongna. Kajao La Liddong atau La Mellong diyakini lahir di sebuah yang sekarang berada dalam wilayah kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Desa itu bernama desa Kajao. Di desa itu ditemukan banyak bukti sejarah berkaitan dengan La Mellong seperti makam yang dipercaya sebagai makam La Mellong, bukit kecil yang dipercaya sebagai tempat La Mellong mencari siput serta sebuah pohon kayu yang dipercaya sebagai bekas tongkat La Mellong yang ditancapkannya ke tanah. Desa ini dulunya bernama wanua Cina, tidak ada catatan kenapa desa ini bisa bernama Cina yang kemudian berubah jadi desa Kajao.

Kajao sendiri adalah gelar untuk seorang yang dihormati, di Jawa Kajao sama maknanya dengan gelar Empu. Sementara kata La Liddong sendiri masih diperdebatkan dari mana asalnya. Beberapa budayawan memberikan analisa bahwa kata La Liddong ini berasa dari kata Laleng Dongi yang dalam penulisan lontara terlihat seperti Laleddongi atau bermakna tempat yang selalu dilewati rombongan burung pipit.

Kata ini dikaitkan dengan keadaan kampung yang dikelilingi persawahan yang menguning di musim panen. Keadaan ini tentu mengundang burung-burung pipit untuk datang dan melintas di atas kampung. Data inilah yang dijadikan asumsi asal muasal kata La Liddong.

Dalam berbagai catatan sejarah dan Lontara ditemukan beberapa versi nama dari La Mellong. Ada yang menyebutnya Kajao, Kajao La Liddong, Kajao La Liddo dan beberapa versi lainnya. Nama orang tua La Mellong atau Kajao La Liddong tidak ditemukan dalam beragam catatan sejarah, tapi dari cerita rakyat disebutkan kalau ayah La Mellong adalah seorang Kepala Wanua (Matowa).

Di masa pemerintahannya, ayah La Mellong dikenal sangat arif dan bijaksana. Kehidupan rakyat di wanua Cina sangat makmur, tanaman tumbuh subur dan ternak berkembang biak dalam situasi keamanan yang terjamin. Saking dicintainya oleh rakyat, ayah La Mellong mendapat gelar Tau Tongeng ri Gau’na atau orang yang benar dalam perbuatannya.

La Mellong sendiri sedari kecil sudah dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, jujur dan berani. Dia tidak pernah berbohong, tegas dalam bertindak dan berani mengeluarkan pendapat. Sifat ini sudah terlihat sejak kecil dan membuatnya disegani oleh rekan-rekan sebaya. La Mellong juga dikenal sebagai anak yang rajin, setiap hari dia menghabiskan waktu dengan menggembala ternak milik keluarganya dengan sungguh-sungguh. Dia juga selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. La Mellong mulai dikenal sebagai anak dengan pemikiran yang cerdas dan tajam.

Suatu hari Raja Bone La Uliyo Botee punya rencana untuk menyempurnakan pemerintahannya. La Uliyo merasa perlu adanya seorang pabbicara atau orang pintar yang memutuskan perkara peradilan hukum. Raja meminta nasihat kepada ahli nujum istana untuk mencari sosok yang tepat. Ahli nujum istana kemudian menyebut nama La Mellong yang berasa dari wanua Cina. Tanpa menimbang-nimbang lagi, Raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk menjemput La Mellong ke istana.

Sang pengawal yang diberi tugas menjemput La Mellong tiba di sekitar wanua Cina menjelang malam. Dia bertemu dengan seorang anak gembala yang mau mengantarkannya ke kampung La Mellong. Dalam perjalanan mereka harus menyeberangi sungai. Karena malam yang mulai gelap, sang pengawal tidak bisa melihat dengan jelas kedalaman sungai yang harus dia seberangi. Bertanyalah dia pada sang pengembala yang menemaninya.

“ Apakah sungai ini dalam nak?”, tanyanya. Dengan mantap sang anak gembala menjawab, “Tanyakan sendiri pada temanmu”.

Sang pengawal tertegun, di tempat itu hanya ada mereka berdua. “Kepada teman yang mana? Di sini hanya ada kita berdua” tanya si pengawal. Dengan lugu sang anak gembala menunjuk tongkat yang dipegang sang pengawal. Sarannya ini mengandung arti bahwa ukurlah kedalaman sungai itu dengan tongkat yang ada di tangan sang pengawal.

Sang pengawal kagum pada jawaban si anak gembala ini. Belakangan dia baru sadar kalau anak gembala inilah La Mellong, orang yang dicari oleh Raja Bone. Setiba di rumah La Mellong, sang pengawal mengutarakan maksud kedatangannya. Baik Matowa Wanuwa Cina dan La Mellong sendiri tidak keberatan dan sepakat memenuhi panggilan Raja keesokan harinya.

Bersambung.

* Dalam tulisan berikutnya kita akan menyimak kecemerlangan pikiran La Mellong atau Kajao La Liddong dalam memutuskan beberapa perkara selama menjadi pemikir kerajaan Bone.

** Cerita ini disarikan dari buku “Kajao La Liddong, Pemikir Besar Dari Tanah Bugis” yang ditulis oleh Asmat Riady Lamallongeng dan diterbitkan oleh La Macca Press, 2006.

 

 

 

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (174 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tags: Kajao La Liddong, Kerajaan Bone

Tinggalkan Komentar