Menikah Belia di Kodingareng (I)

Warga pulau Kodingareng bersiap mendarat di Makassar (foto: daenggassing.com)

Bagaimana rasanya menikah dan hidup berumah tangga di usia yang masih belia? Berikut ini bagian pertama catatan seorang pegiat isu kesehatan reproduksi pada kunjungannya tahun 2011 lalu.

Selviana tahu betul jawabannya. Selvi, masih berusia 14 tahun saat menikah dengan Fahmi, laki-laki asal Galesong, Kabupaten Gowa. Mereka menikah pada 29 November 2010. Fahmi ketika itu masih 16 tahun. Mereka pacaran selama tiga bulan lalu menikah. Daeng Singara, ibu Selvi yang meminta mereka menikah. Dia khawatir jika terjadi sesuatu kepada anaknya sebelum menikah.

Banyak orangtua di Pulau Kodingareng yang khawatir anak perempuan mereka tidak dapat menjaga kepererawanannya. Para orangtua itu tak mau jika suatu saat anak perempuan mereka hamil sebelum menikah.

Namun, Daeng Singara tak hanya menggunakan alasan itu untuk menikahkan anaknya. Selain khawatir, dia juga terbelit masalah ekonomi. Suaminya, Daeng Kaharuddin tidak lagi bekerja. Profesinya sebagai nelayan dia tinggalkan setelah tiga kali tenggelam di laut. Beruntung ia bisa selamat. Walau setelah itu dia hanya duduk saja setiap hari di rumahnya. Anak laki-lakinya juga sama. Tak lagi bekerja. Lumpuh usai menyelam mencari ikan. Keuangan mereka berantakan. Selvi putus sekolah kelas 6 Sekolah Dasar. Setahun kemudian, dinikahkan. Daeng Singara menjadi pedagang kecil-kecilan. Sedikit uang berasal dari keuntungan dagangannya, untuk kebutuhan makan mereka.

Rumah panggung sederhana. Di ruang tamu hanya ada dua lemari saja. Tak ada kursi untuk tamu. Lantai papan dialas terpal plastik motif keramik. Tampak rapi dan bersih. Di sanalah mereka semua tinggal.

Saat disuruh menikah, Selvi tidak pernah protes. Itu sudah biasa. Banyak anak seusianya yang juga imenikah dan putus sekolah. Dia sepertinya tak khawatir. Saat saya tanya apakah dia tahu seperti apa rasanya hidup setelah menikah saat itu, dia tersenyum. “Tidak kak, menikah ja’ saja,” katanya.

Ia tampak murung ketika ditanya tentang sekolah. Tertunduk. Tak ada pengaruh baginya meski sekolah SD dan SMP di sana gratis. Dia tetap putus sekolah.

“Mengerti ja’. Kurang dana. Biar gratis, tapi beli ki baju sekolah, sepatu, tas sama buku-buku,” katanya.

Dia bahkan tak ingat hanya berapa kali mendapatkan menstruasinya ketika akhirnya dinikahkan. Dua hari sebelum menikah, Selvi mendatangi Puskesmas Pembantu yang tersedia di pulau. Atas saran ibunya dia meminta kepada perawat yang bertugas untuk memberinya kontrasepsi. Selvi menggunakan suntik per tiga bulan. “Banyak yang pake’ itu di sini. Apalagi kalau kawin muda biasanya pake’ suntik supaya tidak ada dulu anaknya,” jelas Daeng Singara. “Na bilang dulu dokter, belum pi bede’ siap melahirkan jadi disuruh pake’ suntik.”

Lalu, menstruasi Selvi berhenti empat bulan lamanya. Memasuki bulan Mei 2011 barulah dia mengalami menstruasi. Itu juga setelah disarankan oleh bidan untuk meminum pil KB. Sebagai pancingan, kata bidan. Tapi saat ini, Selvi dan suaminya berencana ingin memiliki anak.

SUATU pagi di rumah Hajah Tati. Ada delapan perempuan yang sedang menikmati kamblas, gorengan yang terbuat dari tepung dan air yang hanya dibumbui bawang merah dan garam secukupnya. Ini makanan favorit orang-orang di pulau. Ada juga teh hangat yang manis. Semanis suasana pagi di sana. Tapi, tidak semanis diskusi kami, tentang pernikahan usia belia.

Di Pulau Kodingareng, hal itu biasa terjadi. “Biar tong ini pulau toh kak, banyak yang hamil di luar nikah. Itu mi na banyak dikasi’ kawin biar masih kecil,” kata Rina.“Ada juga yang baru kodong satu kali mens (menstruasi) na dikasi’ kawin mi,” lanjutnya. Perempuan yang berusia 20 tahun lebih dan belum menikah akan dipertanyakan jodohnya.

Rina saat ini 19 tahun. Cantik, rambutnya hitam dan panjang, suaranya serak. Belum menikah. Hanya memiliki ijazah SD saja. Dia ingin sekali melanjutkan sekolahnya waktu itu. Tapi tak mendapat ijin dari orangtuanya pindah ke Kota Makassar. Pada saat itu belum ada SMP di pulau. Akhirnya putus sekolah. Untunglah belum dinikahkan. Pada Juli 2003, SMP sudah didirikan di sana. Tapi, Rina tak mau sekolah lagi. Dia malu. Setiap hari, hanya membantu ibunya di rumah. Mencuci, memasak dan membersihkan rumah.

Daeng Mutti pagi itu paling bersemangat bercerita. Dia tak setuju dengan pernikahan yang banyak dilakukan di sana. Anak-anak yang belum tahu banyak hal disuruh mengurus suami, katanya. “Tapi tidak bisa ki juga melarang karena anaknya tosseng toh,” tegasnya. Kata dia, bukan hal yang mengejutkan di sini kalau anak usia belia menjadi pengantin perempuan. Entah suaminya sudah tua, dewasa atau juga masih remaja.

“Memang di sini dek, perempuan itu dianggap beban. Dianggap tidak bisa jaga diri. Takut orang tuanya. Nanti ada apa-apanya,” menurut Daeng Mutti, seorang ibu rumah tangga. Tamatan Sekolah Menengah Kejuruan. Kesehariannya menggunakan jilbab besar hingga ke lutut. Ketika berada di luar rumah, kadang ia menutup sebagian wajahnya.

Pukul sembilan lebih, perempuan-perempuan bubar. Aktivitas berganti. Rina dan sepupu-sepupunya sibuk di dapur. (Bersambung)

(Satrika Nasmar, @sartikanasmar, bergiat di Komunitas QuiQui, Makassar)

Bagikan Tulisan Ini:

Comments