Merindukan Lebang dalam Cerpen Khrisna Pabichara

Sosok Khrisna Pabichara dalam belantara perbukuan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir terhitung “seksi”. Tentu saja bukan karena ia memiliki perut sixpack ala bintang film. Jelas bukan itu. Namun karena popularitas luar biasa dari novel “Sepatu Dahlan” yang ditulisnya. Dalam waktu singkat, novel itu bisa menembus jumlah hingga 70 ribu eksemplar. Sebuah prestasi mengagumkan namun sesungguhnya tak luar biasa jika mengikuti sepak terjangnya.

Jejak rekamnya di dunia kepenulisan terhitung panjang. Sebelum menulis novel yang membutuhkan nafas panjang, pria asal Jeneponto itu sudah malang melintang melahirkan sejumlah cerpen. Karyanya biasanya pekat dengan nuansa kedaerahan, bisa jadi sebagai bukti bahwa meski ia sudah jauh meninggalkan kampung halaman, namun ia tetap selalu bisa mengenangnya.

Saya menemukan 2 cerpennya yang menarik perhatian dalam buku kumpulan cerpen berjudul “Kolecer & Hari Raya Hantu” (Selasar Pena Talenta, 2010). Kearifan lokal ditebar dalam suasana horor yang kadang membuat bulu kuduk merinding. Khrisna menyumbang kisah “Pembunuh Parakang” dan “Selasar”. Cerpennya berkutat pada 2 hal yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Sulawesi Selatan : makhluk jadi-jadian yang lazim disebut Parakang dan kawin lari yang diistilahkan sebagai “Silariang”.

“Pembunuh Parakang” dengan lihai langsung membawa kita ke sebuah dunia pergumulan; antara cinta dan dunia gaib. Khrisna tak butuh banyak kata untuk menyergap kita dalam sebuah suasana yang diisi dengan dendam karena masa lalu, pun karena cinta tak berbalas. Adalah Rangka yang mencintai Lebang namun perempuan itu lebih memilih Tutu. Aroma kematian lantas ditebar Khrisna di tengah perkampungan Borongtammatea yang digambarkannya secara sekilas.

Di sinilah peran Parakang menjadi vital. Makhluk jadi-jadian yang niscaya akan membuat siapa pun yang pernah bermukim di salah satu kampung di kawasan Sulawesi Selatan bergidik. Membaca “Pembunuh Parakang” memaksa saya harus mengingat kembali pengalaman masa kecil di Polewali (kini sudah menjadi bagian dari Sulawesi Barat). Jika malam Jumat tiba dan tercium bau busuk dari saluran pembuangan air di belakang rumah bisa jadi adalah indikasi adanya Parakang. Maka biasanya ibu saya (almarhum) komat-kamit membaca doa dan melempar garam ke arah bau busuk. Dan ajaib, bau itu bisa hilang seketika.

Parakang bisa berwujud apa pun, dari tumbuhan, benda hingga binatang. Dalam “Pembunuh Parakang”, ia adalah anjing. Dengan identitas mata yang jelas terbaca. Dan di sini pula letak kejutan cerpen Khrisna. Ia menebar jejak yang tak terlalu kentara namun masih bisa kita raba. Yang menuntun kita melanjutkan petualangan yang direkanya. Sebuah petualangan yang mencekam.

Ketika membaca cerpen selanjutnya yang berjudul “Selasar”, pahamlah kita bahwa Khrisna memakai pendekatan yang cerdik. Lebang masih menjadi primadona di sana, namun kali ini ia berganti wajah. Di “Pembunuh Parakang”, ia adalah Rangka, kini Khrisna menjelma sebagai Tutu. Coba perhatikan karakter kedua pria itu. Dari satu cerpen ke cerpen lainnya digambarkan secara konsisten. Seperti sebuah kisah yang dipecah dalam 2 bagian namun dengan perbedaan sudut pandang dan detilnya sendiri-sendiri.

Dalam “Selasar”, Rangka bisa merebut Lebang dari Tutu. Pertarungan gaib kedua pria itu tetap terjadi meski kadarnya tak sepekat dalam “Pembunuh Parakang”. Keduanya mencintai Lebang dan pada akhirnya bisa memilikinya dalam periode yang berbeda. “Selasar” memang terasa lebih romantik karena berbungkus tema kawin lari. Tapi ini kisah yang murung. Selasar menjadi tempat Tutu bermuram durja menunggu sang kekasih yang tak kunjung datang. Lebang yang disangka terkena doti (mantra ampuh penakluk perempuan) dari Rangka sungguh dirindukannya.

Dan Khrisna mengakhiri ikatan kedua cerpennya dalam sebuah nyanyian kesedihan. Bukan kebaikan atau kejahatan yang terkalahkan. Tapi cinta yang menemui takdirnya sendiri.[]

(Ichwan Persada [@ichwanpersada] – pekerja film, kini bermukim di Jakarta)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (181 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


6 + eight =

You may use these HTML tags and attributes: