Kampung Buku Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E Samping Kantor Lurah Pandang BTN CV Dewi.
Tujuh tahun berdomisili di Jakarta membuat saya sedikit demi sedikit terasing dari apa yang terjadi di Makassar. Kegiatan yang menumpuk juga berperan dalam membentuk keterasingan saya itu.
Saya percaya bahwa tak ada kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan oleh-Nya. Termasuk ketika saya diundang oleh Lily Yulianty Farid, seorang penulis terkemuka, untuk menjadi pembicara tamu dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) yang ke-2 yang diselenggarakannya Juni lalu. Lily yang bermukim di Australia menjadi direktur dari festival yang merayakan literasi itu.
MIWF rupanya menjadi penyambung hubungan saya dengan Makassar. Kegiatan yang diadakan secara sederhana itu membuka peluang saya berinteraksi dengan banyak orang, utamanya anak muda seusia saya. Diantara mereka adalah Anwar Jimpe Rachman, peneliti muda yang sudah lama saya dengar namanya.
Zawawi Imron dalam satu kesempatan diskusi sastra di Kampung Buku | foto: Sofyan Syamsul
Berbicara sekilas dengan Jimpe, panggilan akrab Anwar Jimpe Rachman, membuat saya bisa merasakan geloranya dalam merayakan literasi. Lalu rasa itu juga menjalar dalam diri saya seketika. Tiba-tiba saya seperti menghirup udara segar yang berbeda yang selama ini sudah jarang saya temukan. Saya seperti menemukan “sparring partner” tangguh untuk memperdebatkan sejumlah isu. Kami berbagi pikiran dan berdiskusi banyak hal yang berakhir pada ajakan Jimpe agar saya menyambangi Kampung Buku.
Kampung Buku? Samar-samar saya pernah mendengar nama itu tapi tak pernah betul-betul ingin tahu hingga saat Jimpe menyebutkannya. “Ada yang seperti ini di Makassar?” begitu pikir saya. Maafkan pikiran saya yang naif karena memang betul-betul terlepas dari Makassar selama sekian lama. Saya penasaran dan menerima undangan itu dengan senang hati.
Workshop cukil kayu bersama Taring Padi, Komunitas Seniman dari Jogja. (foto: Sapriady Putra)
Saya tak punya ekspektasi apapun tentang Kampung Buku. Di kepala saya hanya ada satu kata : BUKU! Dan ketika tiba di tempat itu, saya tak terlalu peduli dengan tempatnya yang sederhana namun dengan harta yang tak terhitung harganya berupa ratusan judul buku, terutama buku-buku yang membahas seputar Makassar dan Sulawesi Selatan umumnya.
Adalah keramahan khas Makassar yang menyambut saya di sana. “Mau ki minum apa, teh atau kopi?” tanya Jimpe. Saya langsung menjawab ingin teh yang hangat. Dan dihantarkan dalam gelas besi yang di Makassar lazim disebut “canteng”. Hanya butuh secangkir teh rupanya untuk meruapkan kehangatan malam itu di antara diskusi “panas” yang kemudian terjalin antara saya, Jimpe dan sejumlah teman di sana, mulai dari soal Makassar, buku, hingga film Indonesia.
Musikalisasi puisi oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar dalam peluncuran antologi Kaki Waktu.
Saya seperti merasa di surga! Seperti kaum urban lainnya, saya spontan berkicau di Twitter: “Akhirnya di Kampung Buku. Seperti ketemu surga yang penuh buku!” ujar saya girang. Bagaimana saya tak girang, tempat ini akan menjadi cara bagi saya untuk kembali mengenali Makassar. Tentu saja melalui ratusan buku yang tertata rapi di sejumlah rak di sana.
Saya masih tak bisa membohongi ketakjuban saya menemukan tempat seperti itu, meski saya sempat frustasi mencari alamatnya. Surga ini terselip di antara perumahan. Tak ada yang membedakan Kampung Buku dari rumah-rumah lain di sekitarnya. Selain plang “Kampung Buku” yang berdiri tegak di jalan setapak menuju beranda tempat itu. Dibutuhkan sekitar 30 menit dari Sultan Alauddin (tepatnya di McDonalds, tempat saya dijemput seorang teman) menuju kompleks perumahan CV Dewi yang terletak di Jl Abdullah Daeng Sirua, Makassar. Kampung Buku terletak tepat di sebelah kanan kantor Lurah Pandang yang menjadi patokan paling mudah menemukannya.
RenWarin Management, dalam pertemuan komunitas November Ceria. (foto: Sapriady Putra)
Bahkan, menurut saya, Kampung Buku punya potensi yang tak kalah bermanfaat: menjadi tempat pertemuan berbagai komunitas yang ada di Makassar. Saya sesungguhnya cukup gerah dengan sejumlah komunitas yang terkesan eksklusif di Makassar, menutup diri entah dengan alasan apa. Sementara Kampung Buku membuka pintunya lebar-lebar. Tak ada sekat-sekat di sana. Saya yang masih terhitung “orang asing” pun diterima dengan cukup hangat. Hanya dengan secangkir teh yang mencairkan segalanya.
Oleh Ichwan Persada, Pekerja Film yang bermukim di Jakarta.
Pingback: Kampung Buku Makasar | Indonesia Buku·