Salam Pak,
Saya menulis surat ini di tengah kerumunan anak-anak yang lagi bermain. Mereka anak-anak Makassar. Tak perlu saya jelaskan bagaimana senyum mereka yang bebas. Saya tahu Bapak dapat membayangkannya karena Bapak tumbuh di sini, di lorong-lorong kota Makassar.
Selamat atas kemenangan Bapak di Pemilihan Walikota Makassar dan Mahkamah Konstitusi, Tuhan telah memilih Bapak sebagai nahkoda ‘phinisi’ Makassar.
Saya bukan pemilih Bapak pada pemilihan kemarin. Bahkan saya bukan pemilih siapa pun pada pemilihan walikota Makassar kemarin. Saya termasuk orang yang ragu bahwa akan ada calon pemimpin yang akan mengubah wajah kota ini pada pemilihan kemarin.
Bapak Danny Pamanto, wajah kota ini begitu suram. Jalan raya mulai penuh dengan manusia-manusia yang tak bisa mengalah, walau itu hanya menunggu lampu merah berganti hijau, bunyi klakso yang sangat sering terdengar. Saya tidak tahu apakah Bapak pernah melihat atau mendengarnya karena mungkin Bapak termasuk golongan orang-orang yang melintasi jalan dengan petugas pengawalan. Tapi semoga saya salah, Pak.
Bapak pernah tidak menengok ke media sosial? Banyak yang bilang kota ini takkan berubah. Bapak hanya kepanjangan tangan dari walikota sebelumnya. Kebijakan-kebijakan yang Bapak akan ambil kemungkinan takkan jauh berbeda. Tapi semoga saja kami salah, Pak.
Walikota yang terdahulu ‘membangun’ kota ini seperti Jakarta mini, rumah toko bertebaran di mana-mana, taman-taman kota yang ‘fiktif’. Apakah taman patung ayam di Daya itu taman kota, Pak? Cobalah lihat gersangnya dan di mana unsur keindahan tamannya.
Ruang terbuka hijau adalah hal yang mendesak buat Kota Makassar, Pak. Taman-taman perlu diperbaiki lagi. Jangan hanya berfokus taman yang dekat pantai yang yang tanpa pantai itu. Apakah Bapak tahu daerah Makassar yang pantai tanpa pantai? Pantai Losari, Pak, di mana pantainya? Bagaimana jika kita ubah saja namanya menjadi Anjungan Kota Makassar atau Anjungan Losari. Jangan membodohi akal kami, Pak. Atau Bapak punya definisi sendiri soal pantai yang berbeda dengan gambaran kami? Pantai dalam gambaran warga kayak saya adalah pasir, angin, dan debur ombak. Tapi mungkin saya salah, Pak.
Di Taman Macan, yang dekat Balaikota itu Pak, ah tampaknya indah. Tapi pernahkah Bapak berlari atau berjalan di situ, melihat bangku-bangkunya?
Taman kota yang ada sekarang ada baiknya jika dirawat ulang, Pak, mulai dari tempat duduk dan ditambahkan arena bermain anak. Lalu bangunlah taman-taman di daerah pinggiran kota yang dekat dengan permukiman warga. Caranya? Pemerintah punya dua langkah. Langkah pertama, menerbitkan peraturan tentang kewajiban bagi pengembang atau developer untuk membuat taman dengan luas minimal tertentu dan kelengkapan tertentu. Staf Bapak mungkin akan berkata, “Ini sudah dilakukan, Pak.” Tapi berdasarkan pengamatan, itu hanya perumahan-perumahan yang mewah dan jelas harga yang susah dijangkau kantong sebagian besar warga Makassar, Pak. Mestinya tiap perumahan memiliki taman. Peraturan itu harus ketat. Ada sanksi yang jelas seperti denda senilai sepermil per hari hingga taman tersebut. Jadi patokan waktu dendanya adalah pada tanggal perjanjian saat mengajukan izin membangun perumahan. Mesti ada lampiran semacam “comitment letter” buat menyediakan dan membangun ruang buat taman.
Opsi kedua ialah memanfaatkan kerjasama dengan pusat perbelanjaan yang ada di Makassar, yakni kerjasama pembangunan taman pada atap pusat perbelanjaan. Biaya pembuatan taman oleh pemerintah kota, tempat disediakan oleh pusat perbelanjaan. Apa keuntungan pusat perbelanjaan? Untuk ini taman pada atap gedung itu bisa disediakan arena bermain anak oleh pemerintah kota dan dipungut biaya buat masuk, di sini ada pembagian keuntungan antara Pemerintah Kota dan Pemilik pusat perbelanjaan. Kenapa mesti ada biaya? Taman-taman kota mesti dijaga dan dikelola, penjaganya butuh honor, dari sini kita bisa memperoleh anggaran, ada Pendapatan Asli Daerah yang bisa kita manfaatkan. Sedangkan untuk taman-taman terbuka lain, haram hukumnya dipungut biaya. Tapi ada baiknya Pemerintah Kota mengambil retribusi terhadap pedagang yang berdagang di sana. Jangan sampai mereka hanya membayar pada oknum saja, bisa juga pemerintah kota membuat warung-warung yang tertata pada pojok taman.
Staf Bapak mungkin akan ada yang berkata, “Percuma kita perbaiki dan bangun, Pak. Nanti rusak lagi.” Benar pak. Warga Makassar ini termasuk saya di dalamnya susah punya kesadaran memelihara kota. Mungkin dalam pikiran kami, “Yah tugas Pemerintah Kota dong lewat Dinas Pertamanan atau apalah namanya buat menjaganya.” Padahal kota ini punya warga seperti rumah mestinya kita bersama menjaganya.
Bagaimana mengatasi ini? Ada berapa jumlah petugas Pamong Praja kita, Pak? Berapa pegawai Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar? Cukup tempatkan dua atau tiga orang saja dari masing-masing kantor dinas tersebut untuk menjaganya, Pak. Untuk mengusir para pengemis dan pengamen yang membuat warga bisa tidak nyaman. Honornya dari mana? Bukankah tadi ada biaya yang kita pungut terhadap taman yang berada pada atap perbelanjaan dan biaya retribusi terhadap pedagang-pedagang yang memanfaatkan pojok taman. Mereka bisa diberi honor tambahan dari sini, tapi kuncinya kembali ke Bapak lagi. Berani tidak bapak bertindak tegas dan mengawasi ketat pemasukan daerah dalam bidang ini. Saya berdoa bapak bisa.
Salam, dari saya, warga kota Makassar.
Priyantarno