Malam Ketika Saya Menjadi Contoh Buruk
SUDAH LAMA saya menunggu ada PechaKucha Night di Makassar, acara di mana orang-orang mempresentasikan ide mereka melalui 20 gambar masing-masing selama 20 detik. Sekali waktu, saya menghadiri acara serupa di Bali. Saya jatuh cinta kepada konsep acara yang pertama kali diperkenalkan oleh dua orang arsitek, Astrid Klein dan Mark Dytham, di Tokyo pada Februari 2003.
Saya senang ketika penyelenggara PechaKucha Makassar Volume 1 meminta saya menjadi salah seorang yang mempresentasikan idenya di acara tersebut. Saya tahu, seseorang tidak perlu punya ide besar untuk berbagi. Ide kecil sudah cukup menjadi jembatan percakapan dan perjumpaan dengan orang lain.
Saya tidak mempersiapkan dengan matang presentasi saya untuk PechaKucha yang digelar di Kedai Buku Jenny. Saya baru menyusun gambar-gambar presentasi saya beberapa jam sebelum malam 21 April 2003, waktu ketika acara sederhana itu digelar.
Selain saya, ada sejumlah presenter lain pada PechaKucha Night tersebut. Presentasi dibuka oleh Ridho yang menceritakan Kedai Buku Jenny, salah satu tempat favorit saya di Makassar. Saya menyukai presentasi Ridho yang dimulai dengan menceritakan siapa sebenarnya Jenny yang menjadi nama kedai buku tersebut.
Kedai Buku Jenny bukan semata kedai buku, meskipun namanya terlanjur seperti itu. Ada perpustakaan dan toko kaset di sana. Ada penerbit dan galeri kecil di sana. Mereka juga rajin menggelar acara-acara sederhana yang kreatif. Saya selalu memimpikan ada banyak ruang alternatif semacam Kedai Buku Jenny di Makassar.
Melalui angka-angka merah berlatar kuning, Jimpe menceritakan Makassar Nol Kilometer. Saya menyukai presentasi Jimpe. Makassar Nol Kilometer adalah ruang bersama berupa situs media warga yang diciptakan oleh sejumlah orang di dunia maya. Saya pembaca setia situs tersebut. Saya senang melihatnya tumbuh dan menjadi bagian dari habitat media di Indonesia, khususnya di Makassar.
Komunitas Penyala Makassar juga hadir di PechaKucha Night malam itu. Mereka menceritakan satu program mereka yang disebut Kelas Inspirasi. Ide voluntersime tampaknya menjadi ruh program ini. Mereka mengajak para profesional dari berbagai profesi untuk cuti dari tempat kerja dan meluangkan waktunya satu hari untuk datang ke sekolah-sekolah. Mereka diminta membagi inspirasi mengenai profesi mereka kepada para siswa sekolah dasar. Saya ikut menjadi salah seorang relawan pada acara yang digelar akhir Maret lalu itu. Presenter dari Komunitas Penyala Makassar, Ikes, adalah satu-satunya perempuan yang jadi presenter pada malam yang bertepatan dengan peringatan Hari Kartini tersebut.
Barak mewakili Komunitas Quiqui’ Makassar, komunitas perajut yang anggotanya lebih banyak perempuan, merupakan presenter yang lain. Sejak Maret tahun ini, pria berambut gondrong dan berkacamata itu menjadi ketua Komunitas Quiqui’. Dia lihai merajut dan telah banyak mengajari perempuan merajut. Saya mengaguminya, sebagaimana saya mengagumi komunitas tempatnya berhimpun. Di tengah-tengah laju waktu yang tampak tak terkejar Quiqui’ seperti tempat yang tepat untuk rehat dan menertawai kecepatan. Barak bertemu dua kekasihnya yang terakhir di komunitas tersebut.
Ada juga presentasi lain mengenai Malino Land dari Vonis Media yang dibawakan oleh Juang, seorang musisi yang karya-karyanya saya sukai. Dia berbagi ide dan ceritanya mengenai Malino Land, acara menarik yang berlangsung beberapa bulan lalu di Malino, di bawah pohon-pohon pinus. Menikmati musik dari band-band Makassar, menonton film karya para sineas Makassar, dan membaca buku bersama sahabat yang hangat di cuaca sejuk pegunungan tentu sangat menyenangkan. Itulah yang ditawarkan Malino Land. Saya menyesal tidak bisa hadir pada acara itu—dan berharap bisa hadir di acara Malino Land berikutnya.
PechaKucha juga menghadirkan Dedy, seorang penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Dia membagi ceritanya perihal satu proyek yang beberapa bulan terakhir ini dia jalankan bersama kekasihnya di Bali. Proyek itu bernama Mengaji Tetralogi. Sengaja kami menggunakan kata ‘mengaji’, katanya, sebab kami menganggap karya-karya Pram kitab suci. Dedy dan pacarnya, Happy, membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca atau Tetralogi Buru. Setelah membaca, melalui telepon mereka berbagi hasil pembacaan selama berjam-jam sambil menunggu matahari terbit di tempat mereka masing-masing. Ini salah satu kisah cinta jarak jauh paling romantis yang pernah saya dengar. Mereka juga menuliskan hasil mengaji mereka.
DI PECHAKUCHA NIGHT, malam itu, saya bercerita perihal proyek narsis saya di dunia maya, @hurufkecil. Proyek itu berawal menjelang akhir tahun 2010 ketika saya sedang jenuh di Twitter, ketika saya mulai sering dihinggapi perasaan terlalu banyak buang-buang waktu di internet.
Proyek sederhana itu ada di Twitter, Facebook, Soundcloud, dan www.hurufkecil.net, blog pribadi saya. Sebagai penulis, saya sangat menyadari internet adalah sahabat sekaligus musuh saya. Internet seperti perpustakaan raksasa yang berisi banyak sekali buku, tempat di mana orang-orang datang agar bisa menyadari ketololan dan keangkuhannya. Sebagai perpustakaan, internet juga menyenangkan untuk ditempati bertemu dan berbincang dengan teman-teman atau siapapun mengenai hal-hal tidak penting dan mengganggu orang lain.
Di Twitter, @hurufkecil adalah ruang yang saya ciptakan sebagai sekolah sekaligus kantor saya. Saya punya kelas mengedit di sana. Saya menyukai aturan 140 karakter Twitter karena mengajari saya menulis lebih efektif—meskipun melalui tulisan ini saya terbukti masih perlu belajar banyak.
Di Twitter juga saya membuat kelas Bahasa Inggris saya. Satu hal yang saya sukai dari internet adalah karena tempat itu bukan negara. Batas-batas wilayah menjadi kabur di sana. Masuk di internet bukan pulang ke tempat kelahiran saya, tidak membuat saya merasa bersalah menggunakan bahasa asing. Saya sarjana Sastra Inggris yang selalu malu karena tidak bisa mempertanggungjawabkan kemampuan saya berbahasa Inggris yang miskin. Saya sering menjadikan linikala saya sebagai tempat berlatih menulis menggunakan bahasa Inggris—kebetulan di sana ada banyak orang yang gemar menunjukkan kesalahan orang lain. Saya menggunakan kegemaran orang-orang semacam itu dengan berani mempermalukan diri melakukan kesalahan.
Di Twitter, saya juga menemukan orang-orang yang mau mengajak saya berkolaborasi dalam berkarya. Di luar sana, ada banyak sekali orang kreatif dan cerdas. Saya bertemu mereka yang mau mengubah puisi saya menjadi film dan lagu. Saya bertemu mereka yang mau mengubah cerita pendek saya menjadi lukisan dan sandiwara radio. Di Twitter pula saya menemukan penerbit yang mau menerbitkan karya-karya saya. Tentu saja, saya juga bertemu para pembaca buku-buku saya di Twitter.
Twitter juga membuat saya lebih mudah menemukan acara-acara kreatif yang harus saya kunjungi—seperti yang saya ceritakan di sepanjang tulisan ini. Twitter juga adalah jalan menemukan sejumlah bahan bacaan dan tontonan untuk saya nikmati agar saya bisa menggunakan apa yang saya tahu untuk mengetahui semakin banyak apa yang saya tidak tahu.
Twitter juga tempat saya belajar sesuatu yang disebut personal branding dan tempat saya mencari uang untuk hidup dengan sesekali menjadi buzzer. Ini alasan kenapa banyak orang bertanya kepada saya hubungan antara huruf kecil dan tomat.
Saya menemukan sejumlah pekerjaan karena @hurufkecil. Menjadi penyiar di salah satu radio, misalnya. Di radio yang sama, puisi-puisi saya rutin direkam dan diputar pada hari-hari tertentu. Puisi-puisi itu juga bisa dinikmati di Souncloud saya.
Media sosial semacam Twitter dan Facebook juga cukup efektif untuk menyebarkan karya-karya saya. Di www.hurufkecil.net saya menyimpan sebagian besar karya saya. Saya paham bahwa tidak semua orang harus membeli koran, majalah, atau buku untuk bisa membaca pikiran-pikiran saya. Melalui blog dan media sosial saya membiarkan orang lain menikmati karya-karya saya dengan cuma-cuma. Tidak semua hal butuh dibayar dengan uang, saya kira.
Tetapi, saya percaya bahwa hal-hal terbaik tidak terjadi di internet. Tidak ada yang mampu menggantikan percakapan langsung, antara mata dengan mata. Tidak ada yang mampu menggantikan kehangatan pelukan yang nyata. Sebagai peminum kopi, seperti yang saya katakana pada malam itu, saya percaya bahwa kopi adalah surat cinta dalam bentuk cair dan hangat antara saya dan sahabat-sahabat saya—hal yang tidak mampu ditukar dengan surat elektronik yang paling manis sekalipun.
Internet adalah perpustakaan besar dan indah tapi ‘outernet’ adalah perpustakaan yang jauh lebih besar dan lebih indah.
Itulah beberapa hal yang saya ceritakan mengenai @hurufkecil di PechaKucha Night. Tampak narsis dan norak.
SAYA SENANG berada di sana bertemu langsung dengan banyak orang. Saya berharap PechaKucha Night betul-betul bisa menjadi ruang alternatif di Kota Makassar—tempat bertemu ide, cerita, dan teman-teman baru yang menarik.
Saya belajar banyak hal di acara PechaKucha Night. Salah satunya adalah berbicara dengan efektif. Hal itu sangat penting bagi orang yang kadang terlalu cerewet dan susah fokus seperti saya. Buktinya bisa terlihat di tulisan ini.
Di acara PechaKucha Night Volume 1 saya menjadi contoh buruk akibat terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya. Saya gugup di depan pelantang suara meskipun hanya berbicara selama kira-kira 7 menit. Sungguh! [Bersambung]
(M Aan Mansyur, @hurufkecil, penulis)