Hidup Bahagia ala Pak Jenggot

Pak Jenggot (tengah) bersama penulis (kanan). [foto: koleksi Nur Utaminingsih]

Wajar bila Pak Jenggot lupa pada saya. Hampir dua tahun kami tidak bertemu. Selama itu pula, dia tentu punya banyak tamu yang datang dan singgah dalam hidupnya.

Sekitar pukul 11.00 WITA, saya berkunjung ke bale-bale (kursi serupa meja dari bambu/papan) Pak Jenggot di daerah Pintu Nol Kampus Unhas, Makassar. Bale-bale itu buatan Pak Jenggot. Saat tiba, saya hanya mendapati becaknya terparkir tenang. Kalau becaknya ada, jelas dia pun masih ada di sekitar situ.

Saya menunggunya di bale-bale. Tidak lama kemudian, dia datang dengan sekantung bekas minuman dan botol plastik. Seperti dugaanku, dia memang sudah tidak mengenal saya. Saat ketemu, dia langsung menawarkan becak. Saya menolak dengan alasan  menunggu teman.

Mendengar penolakan saya, responsnya biasa saja. Tidak marah, menggerutu, apalagi kecewa—sebagaimana saya temui pada beberapa tukang becak. Saya selalu kagum pada sifatnya yang satu ini. Penolakan-penolakan itu mungkin seperti latihan khusus baginya. Dan kini, jelas dia sudah lulus.

Dia malah mempersilahkan saya naik dan memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman. Tadinya memang saya hanya bersandar saja di salah satu pilar bale-bale. Terlalu tinggi untukku karena harus menaikkan seluruh kaki.

Beberapa menit pertama menjadi saat-saat canggung bagiku. Saya sangat ingin mulai pembicaraan. Tapi, tidak tahu dengan topik apa. Sampai kemudian dia naik dan duduk nyaman. Lalu mengambil beberapa barang yang tergantung rapi dari atap papan bale-balenya. Dia hendak makan.

Pertama-tama, dia tidak lupa minta izin untuk makan padaku. Bahkan, dia pun mengajakku bergabung menikmati santap siangnya. Ada rantang aluminium bersusun 3 di depannya. Setiap susunnya berisi bekal makanan penuh. Rantang pertama penuh dengan nasi putih. Yang kedua, ada sayur nangka dengan tambahan beberapa potong kacang panjang. Terakhir, rantang ketiga, berisi beberapa potong ikan goreng berukuran kecil. Rantang itu ditemani sekantung kecil kerupuk keong. Ia lalu menyantap makanannya dengan membelakangi saya.

Lelah berdiri, saya memutuskan duduk di atas bale-bale. Dia sempat cerita, semalam dia menghabiskan malam dengan memancing di salah satu danau kecil dekat kampus. Dan itu hasilnya, beberapa ekor ikan kecil yang sudah digoreng lezat olehnya.

Siang kita pada hari itu cukup sepi, tapi tidak membosankan. Kami cukup menikmati sepi itu dengan senyum yang selalu berinteraksi satu sama lain. Sampai kemudian datang Pak Chaerul.

Pak Chaerul adalah salah satu warga daerah Pintu Nol Kampus. Pak Chaerul cukup aktif memecah hening antara saya dan Pak Jenggot. Jadinya, karena pancingan Pak Chaerul, kami pun bercerita lepas.

Pak Chaerul tinggal di daerah pondokan sejak tahun 2003. Sembilan tahun lebih dia habiskan dengan mengamati daerah setempat. Dia cukup kenal seluk-beluk pondokan area Pintu Nol Kampus. Apalagi pondokan yang terletak selorong dengan rumahnya. Bahkan, sampai mahasiswa dan penyewa pondokannya, dia kenal semua. Kata Pak Jenggot, Pak Chaerul ‘orang penting’ Pintu Nol. Setiap ada kehilangan atau ada urusan dengan polisi, pasti minta izin dulu dengannya. Tidak jarang malah Pak Chaerul diminta membantu menyelidiki kasus-kasus yang ada. Padahal, jika dilihat dari tampang dan gaya berpakaiannya, sangat jauh dari kesan jagoan dan preman penguasa wilayah yang selama ini digambarkan. Gaya pakaian Pak Chaerul rapi dan murah senyum. Yah, mungkin seperti Jokowi versi lebih putih.

Tawaran menjabat sebagai ketua RT sudah beberapa kali ditolaknya. Bahkan, ketua RT yang tengah menjabat pun pernah menawarinya untuk jadi penerusnya. Tapi, tetap juga dia tolak. Dia malas berurusan dengan birokrasi pemerintah. Katanya, dia tidak mau dihargai hanya karena status atau jabatan pekerjaannya. Dia hanya mau menjadi Chaerul.

Pak Chaerul dan Pak Jenggot hampir setiap pagi dan sore menghabiskan waktu bercerita di bale-bale buatan Pak Jenggot. Pembicaraan mereka sangat bebas dan santai. Mereka membincangkan baliho yang baru saja dipasang oleh mahasiswa Mapala Fakultas Teknik Unhas semalam.

Bahasannya berlanjut ke bahan baku baliho. Akan dikemanakan nanti bambu dan tripleks-tripleks itu? Cukup bermanfaatnya baliho itu sebagai tempat berlindung pengemis jalanan atas terik siang.

Tidak lama berselang, pukul 12.30 WITA, jalanan sepanjang Perintis Kemerdekaan semakin padat. Ulah angkutan umum yang menurunkan dan menjemput penumpang di sembarang tempat juga menjadi penyebab padat. Bisingnya jalanan siang ini karena perlombaan klakson kendaraan. “Makanya, naik becak maki semua. Ndak ada klaksonnya, jadi ndak ribut dumba’-dumba’ ji jalanan,” sergah Pak Jenggot. Saya dan Pak Chaerul tertawa.

Sementara kami bersenda gurau, tiba-tiba bunyi tubrukan terdengar dari arah jalan raya. Ada dua motor bertabrakan. Motor yang satu, mungkin dikendarai sepasang mahasiswa, coba menyalip dari kanan angkutan umum yang tiba-tiba berhenti hampir di tengah jalan. Ternyata, di saat bersamaan, ada motor cukup kencang dari sisi kiri angkutan umum. Suara rem mati terdengar dan … tabrakan! Meski tidak parah, tapi ibu dan anak yang dibonceng oleh suaminya terjatuh. Aduh, anaknya masih kecil, mungkin masih berusia 5 atau 6 tahun.

Kali ini, Pak Chaerul yang nyeletuk, “Siapa suruh ko produksi motor sama mobil banyak-banyak, kah?” Tidak jelas pernyataan ini serius atau bercanda dan ditujukan ke siapa. Pak Chaerul bercanda dengan wajah yang serius. Tapi, bercandaanya itu sungguh serius dan kritis.

Lalu ada seorang gadis berjalan di depan kami. Jalannya sedikit angkuh, seperti punya dunia sendiri. Melihat gadis itu, Pak Chaerul berkata pada Pak Jenggot, “Jam keluarnya mi itu, Jenggot…”

Pak Jenggot, yang masih makan, tiba-tiba berhenti dan melihat gadis yang dimaksud Pak Chaerul. “Iyo di’, malam Sabtu mi pade’. Besok juga itu bertugas ki..”

Melihat saya yang cukup bingung, Pak Chaerul langsung menjelaskan.

“Anak Bar-Bar itu, Thamy. Jam keluarnya itu siang-siang begini. Nanti dia pulang tengah malam, atau subuh-subuh.”

Pada awalnya saya tidak yakin. Mana bisa Pak Chaerul tahu tentang seseorang sampai sedetail itu. Secara logika, hanya penguntit yang bisa tahu rutinitas seseorang sampai sedetail itu. Pak Jenggot yang baru selesai makan, menambahkan bahwa wajar kalau Pak Chaerul tahu gadis tadi karena tinggal satu lorong. Bertetangga, tapi hanya saling mengamati, belum pernah bertegur sapa.

Menurut Pak Jenggot, gadis tadi punya 5 orang teman yang sepondokan. Rutinitas mereka hampir sama. Keluar siang atau sore, dengan baju ketat yang membentuk lekuk tubuh yang menggoda, dan kemudian pulang tengah malam atau subuh. Tidak jarang Pak Chaerul bertemu dengan mereka ketika pulang. Pak Chaerul baru pulang nongkrong dengan penjaga-penjaga malam kampus, atau baru pulang main domino, sedangkan mereka pun juga baru pulang. Setiap pulang, mereka diantar oleh laki-laki yang beda setiap malam. Naik mobil, atau motor gede, bahkan Pak Chaerul pernah mendapati mereka pulang sambil muntah-muntah. Mungkin terlampau mabuk.

Apa mereka mahasiswa atau bukan? Pak Chaerul tidak tahu. Yang pasti, dia tidak pernah melihatnya masuk kampus atau pergi kuliah. Gayanya setiap keluar selalu saja sama. Terlalu menggoda untuk masuk kampus, katanya.

Ketika tengah bercerita, ada lagi gadis yang lewat. Kali ini, gadis itu menyapa Pak Jenggot dan Pak Chaerul. “Nah, kalo itu calon dokter gigi, Tham.” Dulu katanya dia mahasiswi di FKG Unhas. Tergolong gadis baik-baik lah, menurut Pak Chaerul. Bahkan, Pak Chaerul pernah dapat perawatan gigi gratis dari gadis yang tadi. “Bayangkanko, Tham. Satu pondokan itu dokter gigi sama itu tadi anak bar,” jelas Pak Chaerul.

Pak Jenggot lalu bercerita bahwa dia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih dalam kampus. Pak Jenggot cukup menikmati pekerjaannya itu awalnya. Mengisi waktu istirahat dengan bercanda dengan beberapa mahasiswa, cukup bahagia menurutnya. Sampai pada satu waktu, ada sangat banyak tuntutan untuk bersih dari pihak Universitas. Mereka, para buruh kebersihan, diminta untuk menjaga kebersihan, tapi tidak dibantu dengan perlengkapan yang memadai. Gaji bulanan mereka juga seringkali telat.

Ternyata, setelah bercerita dan curhat dengan beberapa mahasiswa, dia menyimpullkan kalau ini ada hubungannya dengan pergantian birokrasi kampus, khususnya rektor Universitas yang punya tuntutan sempurna di beberapa hal. Pak Jenggot tidak lagi bahagia menjalani pekerjaannya, terlalu banyak tuntutan di luar kemampuannya. Daripada mengisi ibadah (maksud: pekerjaannya) dengan menggerutu, lebih baik dia berhenti. Gaji yang sudah ditabungnya beberapa bulan kemudian dia belikan becak yang hingga kini dikayuhnya. Dari hasil keringat itulah Pak Jenggot bisa membangun rumah sederhana tepat di pintu Nol Kampus.

Ada keunikan Pak Jenggot sebagai tukang becak. Dia hanya mau dibayar ketika mengantar masuk penumpang dari Pintu Nol ke pondokan atau kawasan dalam yang berjarak seribuan meter. Bila tengah jalan pulang usai mengantar penumpang lalu bertemu mahasiswa berjalan kaki ke arah luar, dia menawarkan tumpangan—tak mau dibayar.

Alasan Pak Jenggot, dia tengah perjalanan pulang. Kalau sementara jalan pulang dan berbagi manfaat dengan yang membutuhkan, itu bahagia. Dia bisa dapat amal ibadah, juga bisa bawa pulang cerita ke rumah sederhananya. Untuk kemudian dibagi dengan keluarganya di rumah.

Saya salah seorang mahasiswa yang pernah ditolongnya. Kejadian itu sekitar pertengahan tahun lalu. Sembari membawa skripsi yang siap jilid dan beberapa map, Pak Jenggot menawari saya tumpangan ke jalan raya Perintis Kemerdekaan. Ada peran Pak Jenggot dari skripsi andalan saya itu.

Duduk di bale-bale ini bersama Pak Jenggot dan Pak Chaerul cukup melegakan. Di sini, saya betul-betul merasa bebas mengamati, bercanda, mengkritik, mereka betul-betul orang hebat yang tidak perlu gelar. Setidaknya, mereka bisa melihat dan mengenali diri mereka sendiri. Di rumah sederhana milik Pak Jenggot ini, kita bisa saling mengingatkan tentang harapan, rencana, tentang bahagia. Kembali mengingatkan diri tentang muasal dan muara.

Kata Pak Jenggot, di daerah pondokan Pintu Nol Kampus Unhas, ada sebuah warnet yang memajang gambar dirinya dalam ukuran besar. “Kalo rindu ko, ke sana saja!” candanya.

Selalu ada cerita dalam setiap tempat, salah satunya di sini, di satu sudut kota ini. Pak Jenggot dan beberapa warga sekitar yang tinggal dan bertahan hidup di sekitar pondokan Pintu Nol, baik tukang becak, ojek, maupun warung-warung kecil yang sudah tidak terhitung jumlahnya tengah terancam atas isu penggusuran. “Entah digusur atau tidak, toh kita semua tengah menunggu waktu,” katanya, seperti mencoba menenangkan diri.

Sebelum pulang, Pak Jenggot memberitahu saya tentang nama aslinya. Ternyata, dia sengaja memanjangkan jenggot sebagai identitas diri, agar tidak dipanggil dengan nama aslinya. “Agar tidak dipanggil, bukannya menghindar, Nak,” jelas Pak Jenggot mengulangi. Nama asli Pak Jenggot ternyata adalah Kuasa.[]

(Nur Utaminingsih[email protected], pegiat sekolah alternatif di Desa Tassese’]

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (172 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tags: tukang becak

3 responses on “Hidup Bahagia ala Pak Jenggot

  1. Pingback: Anwar Amin: Kedai Baca Sipakainga | Indonesia Buku·

Tinggalkan Komentar