Salah satu klenteng di Pecinan (dokumen KITLV)
Selama ratusan tahun, etnis Tionghoa sudah menjadi bagian dari sejarah republik ini dengan segala dinamikanya. Tidak terkecuali kota Makassar. Berikut ini kami coba menyarikan tulisan tentang jejak sejarah etnis Tionghoa di Makassar
Jejak Tionghoa sudah terekam lama dalam sejarah perkembangan kota Makassar dan sekitarnya. Sejak jaman kejayaan kerajaan Gowa perantau Tionghoa sudah menjejakkan kakinya. Mereka mendiami daerah sekitar benteng Somba Opu (Sambung Jawa) yang merupakan pusat armada niaga waktu itu. Dari perantau Tionghoa itu ada juga yang mendiami daerah Kampung Butung, bahkan sampai abad ke-20 dimana terdapat sebuah masjid yang dikelola oleh orang Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa yang menetap di Sambung Jawa dan Kampung Butung sudah menetap cukup lama, dan kemungkinan sudah membentuk sebuah perkampungan yang mapan. Ini ditandai dengan adanya pekuburan orang Tionghoa yang menandakan sudah beberapa generasi yang menetap di sana.
Ketika Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda dan kemudian ditinggalkan penduduknya, maka peranan Benteng Somba Opu sebagai pusat niaga perlahan-lahan mulai digantikan oleh Benteng Fort Rotterdam (benteng Ujung Pandang). Pada masa itu orang-orang Tionghoa juga mulai berpindah, sebagian dari mereka menempati Stad Vlaardingen (daerah khusus orang Eropa) dan sisanya hidup di perkampungan penduduk.
Orang Tionghoa yang tinggal di Stad Vlaardingen itu kemudian membentuk perkampungan sendiri dengan kepala kampung sendiri. Schurmaan yang mengunjungi Makassar pada tahun 1838 memberi kesaksian tentang kehidupan orang Tionghoa Stad Vlaardingen waktu itu. Menurut Schurmaan orang Tionghoa waktu itu sudah memenuhi Stad Vlaardingen dan mempunyai kehidupan yang mapan. Mereka bahkan sudah memiliki rumah sakit khusus untuk orang Tionghoa pada tahun 1832.
Suasana perkampungan Tionghoa awal abad 20 (dokumen KITLV)
Pada abad ke-19, pemerintah Belanda kemudian memberi tempat hunian tersendiri untuk orang-orang TiongHoa. Mereka tidak diperbolehkan berbaur dengan masyarakat lainnya, bahkan untuk keluar dari tempat itupun mereka harus mendapatkan izin khusus. Ini membuat masyarakat Tionghoa menjadi terisolir dan tidak berbaur dengan masyarakat lainnya. Wilayah itu disebut “Kampung Cina” (Chieesche Wijk).
Kampung Cina ini terletak di sekitar Murstraat (Jalan Timor) bagian barat, sekitar Templestraat (Jalan Sulawesi) sebelah Jalan Sangir, sekitar Jalan Lembeh dan Jalan Bali Sekarang. Pada bagian utara berbatasan dengan Kampung Melayu, sekitar jalan Sangir sekarang. Di sebelah timur berbatasan dengan Kampung Kecak, Kampung Arab, Kampung Ende dan Jalan Irian (Van Schellegweg). Sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Balandayya, sekitar jalan Sumba Sekarang dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Pelabuhan Makassar dibatasi oleh Passarstraat (Jalan Nusantara).
Pasaarstraat (Jalan Nusantara) awal abad 20 (dokumen KITLV)
Pasaarstraat atau Jalan Nusantara sekarang menjadi pusat perdagangan waktu itu. Di satu sisi dari jalan terdaat kantor-kantor perdagangan orang Eropa sementara di sisi lainnya terdapat toko-toko milik orang Tionghoa dan orang Timur Asing lainnya.
Perkampungan orang Tionghoa di Makassar merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan. Deretan rumah itu merupakan rumah petak di bawah satu atap yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan di tengah rumah biasanya ada bagian tanpa atap untuk menanam tanaman, tempat mencuci dan tempat menjemur. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruang tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruangan belakang. Sesudah itu ada lorong dengan di sebelah kiri-kanannya ada kamar-kamar tidur, dan di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi.
Biasanya rumah-rumah itu bertingkat dengan berandanya. Ciri khas rumah Tionghoa waktu itu (1906-1959) ada pada bentuk atapnya yang lancip pada keempat sisinya dengan ukiran-ukiran berbentuk naga. Pada rumah orang-orang kaya terdapat ukiran-ukiran pada tiang-tiang dari balok atau pada tiang-tiang rumah, bagian langit-langit dan sebagainya.
Dalam setiap daerah pemukiman orang Tionghoa terdapat satu atau dua kuil/klenteng dengan corak khas Tionghoa. Tempat ini biasanya bukan merupakan tempat beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta keturunan (anak) dan tempat mengucapkan syukur, Besar kecilnya kuil tergantung pada kemampuan pendukung/umatnya untuk membiayai pembangunannya.
Salah satu klenteng di perkampungan Tionghoa (dokumen KITLV)
Setelah dihapuskannya sistem pembatasan pemukiman, orang-orang Tionghoa kemudian mulai menyebar ke segala penjuru kota Makassar. Orang Tionghoa totok masih memilih untuk tinggal di dalam lingkungan pusat perdagangan dalam rumah yang merupakan toko sekaligus tempat tinggalnya.
Latar Sejarah Migrasi Tionghoa ke Makassar
Tidak ada catatan pasti mengenai kapan orang Tionghoa mulai menjejakkan kakinya di Makassar dan sekitarnya, namun menurut literatur kedatangan orang Tionghoa ke bagian timur kepulauan Indonesia terjadi pada masa pemerintahan dinasti Tang abad ke 15. Ini tidak menutup kemungkinan mereka singgah di Makassar yang pada saat itu masih disebut kerajaan Gowa.
Namun ada jejak historis lainnya yang menyatakan kalau orang Tionghoa sudah singgah di Makassar pada sekitar abad 14 atau pada masa pemerintahan dinasti Yuan. Bukti itu berupa teks pada batu nisan yang ditemukan di pekuburan Tionghoa di sekitar pasar Sentral (Mappa-1987)
Salah satu foto anak warga Tionghoa (dokumen KITLV)
Pada umumnya orang Tionghoa yang datang ke Indonesia berasal dari propinsi Fukien dan Kwantung. Ada tiga rumpun bahasa Tionghoa terbesar di Makassar yaitu Hokkian, Hakka dan Kanton. Pemakai bahasa yang satu tidak mengerti bahasa yang lainnya, karena ketiga bahasa itu sangat berbeda baik dari struktur katanya maupun lafal fenomiknya. Mereka masih berbahasa Tionghoa dan berkumpul dengan sesuai bahasanya masing-masing.
Orang Hok Kian adalah orang Tionghoa pertama yang datang ke Makassar dalam jumlah besar sampai abad ke-19. Mereka berasal dari Amoy ( Tsiang Tsu, Tsoan Tsiu, dan sebagainya), Fu Khien Selatan. Daerah ini merupakan negeri yang sangat penting dalam perkembangan perdagangan luar negeri Tiongkok pada abad 10-19.
Orang Hakka (Kek), berasal dari pedalaman propinsi Kwang Tung. Mereka merupakan bangsa Tionghoa yang banyak menetap di Makassar selain Hok Kian, pada umumnya orang Hakka merantau karena faktor ekonomi sejak 1850-1930. Orang-orang Hakka termasuk orang-orang yang melarat di Tiongkok.
Orang Kanton (Kwan Foe) baru berimigrasi ke Makassar dalam abad 19 bersama orang Hakka. Orang Tionghoa lainnya seperti Hai Nam (berasal dari pulau Hainan) dan propinsi lainnya (seperti Kwok Tjia, Hin Hua, Hok Djioe, Ching Chiang dan Hai Lok Hon) juga berimigrasi tapi dalam jumlah yang sangat kecil dibanding lainnya.
Meski berasal dari beragam etnis, daerah dan suku bangsa namun orang Tionghoa yang ada di Makassar hanya digolongkan dalam dua golongan, Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok. Tionghoa totok datang belakangan sedang Tionghoa peranakan sudah ada dari sejak sebelum abad 20. Ini dikarenakan pada masa sebelum abad ke-20 hampir tidak ada wanita Tionghoa yang ikut berimigrasi sehingga para lelakinya kemudian banyak yang memilih untuk menikah dengan wanita setempat. Mereka kebanyakan adalah orang Hokkian.
Kaum peranakan ini membentuk masyarakat peranakan yang mantap, kemudian membentuk kelompok tersendiri. Kelompok peranakan ini membentuk kebudayaan sendiri yang merupakan gabungan antara kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan pribumi. Dalam banyak unsur kehidupan mereka sudah menyerupai orang Makassar meski tetap bisa dibedakan dari penduduk setempat, seperti penggunaan bahasa Melayu-Tionghoa atau bahasa Makassar yang digunakan sehari-hari.
Ciri khas dari Tionghoa peranakan ini adalah:
- Mereka adalah hasil dari perkawinan campuran, biasanya ayah mereka berdarah Tionghoa dan ibu berdarah pribumi. Mereka turun temurun kawin campur dengan penduduk asli atau kawin antara sesama peranakan.
- Mereka biasanya tidak dapat berbicara dalam bahasa Tionghoa, hanya bisa berbicara Melayu atau dialek setempat.
- Mereka (utamanya yang wanita) sangat terpengaruh oleh cara hidup dan kebiasaan ibunya yang sangat mirip dengan cara pribumi, tapi masih diwarnai unsur-unsur tradisi dan kebudayaan Tionghoa.
- Mereka dilahirkan di Indonesia, sebagian besar dari mereka tidak pernah pulang ke tanah leluhurnya. Pertalian mereka dengan Tiongkok makin berkurang, pikiran dan perasaan mereka atas tanah leluhur makin tipis.
Berbeda dengan Tionghoa peranakan, Tionghoa totok baru berimigrasi pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Imigrasi ini terjadi karena pergolakan politik di negara Tionghoa, dan bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja di Asia Tenggara. Meningkatnya imigrasi ini juga disebabkan karena dihapusnya larangan imigrasi bagi orang Tionghoa pada tahun 1847.
Ada dua aspek paling penting yang mendasari imigrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Asia Tenggara, aspek ekonomi dan politik. Pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644) jumlah penduduk Tionghoa semakin banyak, sedang pertanian tidak bisa menjamin kehidupan penduduknya. Ini yang kemudian mendasari imigrasi besar-besaran oleh kaum Tionghoa ke daerah lain yang mereka sebut sebagai “tanah impian”. Faktor politik diartikan sebagai keberhasilan peperangan yang dilancarkan oleh pasukan Ching di Formosa. Kemenangan ini menguntungkan bagi kaum Hokkian yang berada di daerah sekitar Fujian dan Guandong. Tak heran bila kebanyakan imigran Tionghoa di Asia Tenggara berasal dari kaum Hokkian.
Imigrasi Tionghoa melalui dua jalur, darat dan laut. Imigrasi melalui darat dimulai dari propinsi Kwel Chou, Kwangsi dan Yunan hingga sampai di wilayah Indocina dan terus bergerak ke Vietnam. Sementara jalur kedua adalah melalui jalur laut, ini yang paling banyak terjadi termasuk imigran yang menjejakkan kaki di Makassar dan sekitarnya.
Begitulah cerita singkat tentang jejak sejarah etnis Tionghoa di Makassar. Selama berabad-abad, keberadaan etnis Tionghoa sudah menghiasi sejarah kota Makassar dan tentu tidak dapat dipisahkan setiap kita berbicara tentang kota ini karena sesungguhnya jejak langkah kota ini adalah hasil asimilasi dari beragam budaya yang saling menghormati, menghargai dan berjalan dengan harmonis selama ratusan tahun.
( tim @MksNolKm , disarikan dari tulisan Rinawati Idrus – Budaya Etnis Tionghoa Di Makasar yang terdapat dalam buku: Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan – Iwan Sumantri – terbitan Ininnawa )
Dalam sebuah obrolan kecil, Frans Heming Wang tokoh masyarakat Tionghoa, pernah bercerita kalau suku Kanton unggul dalam pertukangan dan penjualan emas di Makassar.
Pingback: Kenangan tentang Dua Pasar | Makassar Nol Kilometer·
Pingback: Tionghoa Peranakan di Makassar | Makassar Nol Kilometer·
Pingback: Jejak-Jejak Tionghoa Di Makassar | Daeng Gassing·