Keberanian Menemukan Bulan

Finding Moon EP Cover - Copy

Menamai (mini) album dengan judul “Finding Moon” (rilisan 2012) adalah sebuah kepercayaan diri. Saya pun lantas teringat dengan petikan ucapan yang sangat terkenal setelah dilontarkan oleh Neil Armstrong sesaat setelah menginjakkan kaki di bulan tahun 1969. “That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.”

Album ini adalah langkah kecil dari Melismatis sekaligus langkah besar bagi band segenerasinya untuk memasuki panggung raksasa. Melismatis merupakan bagian dari gerakan bawah tanah sejumlah band indie di Makassar, yang mencoba menemukan identifikasi musik masing-masing dengan cara sendiri-sendiri.

Saya percaya setiap album adalah pernyataan sikap dari kreatornya. Kita akan bisa memisahkan mana musisi yang serius berkarya atau serius mengejar uang. Di album perdana ini, Melismatis mencoba meneguhkan diri sebagai musisi serius dalam berkarya. Terlihat jelas upaya mereka untuk itu. Mereka mencoba berhitung dengan segala aspek, mulai dari pengemasan CD (yang walau tak orisinal karena sudah berulang kali digunakan oleh band asing) hingga penempatan lagu demi lagu yang disusun sedemikian rupa seserius menyusun repertoar ketika mengadakan konser.

“Finding Moon” dibuka dengan nomor “Autisme”. Hentakan musik yang langsung digeber kencang dengan sisipan sayup suara gelombang radio plus vokal garang Ardhyanta Tajuddin Sampetoding membawa kita masuk ke dunia antah berantah. Walau gagal menemukan korelasi judul dengan lirik lagu, namun lagu ini menjadi pembuka cerdas yang seakan mengisyaratkan satu hal dari mereka : “Hey, kami serius bermusik. Kami serius berkarya!”

Pembuka “Autisme” memang cenderung mengagetkan. Namun setelah itu Melismatis mencoba membuai dengan “Gloria”. Sesungguhnya musik mereka membuat nyaman hati saat mendengarnya, tapi mereka mencoba menantang diri dengan memadukannya dengan teriakan Ardhyanta. Lagi-lagi kita tak tahu apa yang diteriakkan Ardhyanta, dan mungkin memang tak perlu tahu. Cukup menikmati musiknya yang dikonsep dengan rapi dan beri ruang di hati untuk menyesapinya.

Di album ini memang belum terlihat kecenderungan Melismatis akan berpihak pada tema sosialkah atau kembali mengulangi jejak sekian ribu band di Indonesia yang meneriakkan lagu bernada cinta dengan lirik yang membosankan karena diulang ribuan kali. Di nomor “Sedikit ke Timur”, Melismatis memperlihatkan sensitivitas mereka atas kesyukuran mereka dilahirkan dan besar di bagian timur negeri ini.

Pada beberapa bagian, mendengarkan musik Melismatis seperti mencoba menikmati lukisan abstrak. Entah pernyataan ini pujian atau kritikan, bisa salah satunya atau malah keduanya. Seperti ketika menyimak “Sempit”. Saya tak tahu apa maksud dari lagunya dan menemukan hubungan dengan judulnya, tapi saya tahu bahwa mereka bisa memproduksi harmoni yang asyik untuk didengar.

Ironis dari Melismatis selain dari kesulitan menemukan korelasi antara lirik dengan judul lagu adalah kekaburan orientasi visi mereka dalam membuat lagu. Seperti ketika tiba-tiba saja menyempil judul lagu yang terkesan terlalu ‘genit’ untuk mereka: “Saya Suka Itu, Setiap Senyummu di Bawah Hujan”. Lagu ini terasa mencelat dari lagu-lagu lainnya. Seperti nomor yang terlanjur diciptakan, namun sesungguhnya terasa dipaksakan untuk dimasukkan ke album ini.

Sebenarnya kebingungan pendengar dalam menyesapi 8 nomor di album “Finding Moon” ini bisa disiasati dengan menyisipkan lirik dalam kemasan CD mereka. Bisa juga dengan memberi “petunjuk kecil” di tiap lirik lagu. Dengan demikian pendengar yang sudah menikmati musik Melismatis dengan nyaman tak perlu dibuat kehilangan arah dengan lirik yang tak terdengar jelas di telinga.

Pada akhirnya lagu memang harus berbicara langsung ke pendengarnya tanpa perlu dijelas-jelaskan oleh pembuatnya. Secara musikalitas, pencapaian Melismatis jelas jauh lebih baik jika dibandingkan dengan band segenerasi mereka di Makassar. Ada benang merah yang bisa kita rasakan dalam mengemas musik mereka. Ada ketulusan sekaligus keseriusan didalamnya untuk memberi aura berbeda bagi jagad musik Makassar. Tapi sekaligus menantang mereka sendiri untuk setelah “Finding Moon” ini, berani memasuki panggung raksasa: Indonesia!

Melismatis juga perlu memberanikan diri untuk meletakkan posisi mereka. Agar ironi demi ironi yang bertabrakan satu sama lain di album ini bisa terkikis perlahan di album berikutnya. Keinginan untuk mengeksplorasi banyak hal yang berpadu dengan ego besar adalah sumbu untuk meledakkan sesuatu. Maka perlu meredam itu semua sehingga kita bisa menemukan sebuah ketegasan dari mereka.

“Finding Moon” adalah jalan mereka menuju ke bulan. Namun sebelum ke sana, mereka harus berani menantang diri mereka sendiri untuk membuat kejutan demi kejutan di album berikutnya yang memperlihatkan mereka berani keluar dari kotak. Berani keluar dari kerumunan sesama musisi Makassar yang memuji-muji musik mereka. Berani melesakkan musik mereka mengorbit jauh dari Makassar, karena sesungguhnya mereka potensial untuk itu.

Mengidentifikasi Melismatis dengan band sejenis memang tak mudah. Musiknya secara sekilas mungkin terdengar mirip dengan band A atau musisi B, tapi dengan tambahan vokal meraung Ardhyanta, di situlah letak keunikan mereka. Tapi menjadi unik sesungguhnya tak cukup. Keunikan ini perlu dipertahankan namun mereka harus terus mengeksplorasi diri agar menemukan bentuk solid yang nantinya akan menjadi ciri khas mereka.

Teruslah berjalan demi menemukan bulanmu, Melismatis!

(Ichwan Persada @ichwanpersada – produser film/ex music director – tinggal di Jakarta)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar