Keluarga Gista atau Kita dan Pasar Tradisional

“Gista diajak ke swalayan Indomart oleh ayahnya. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Gista diajak berkeliling Indomart untuk melihat-lihat barang dan makanan yang mereka mau beli.

Berada di swalayan Indomart, Gista sedikit merasa sedikit heran karena keadaan swalayan itu sangat jauh berbeda dengan tempat belanja yang sering ia kunjungi. Gista selama ini belanja di pasar tradisional dan toko biasa, apabila menginginkan makanan ringan.

Keadaan swalayan Indomart lebih bersih, pengunjungnya tidak terlalu ramai. Tempat-tempat menyimpan barang tertata dengan rapi. Tempatnya sudah dikelompokkan berdasarkan jenis barangnya. Semua sudah tercantum harganya. Keadaan ini tidak ditemui di pasar tradisional yang sangat ramai oleh pedagang dan pembeli. Terkadang apabila musim hujan, jalan di pasar menjadi becek serta bau sampah.”

KISAH GISTA dan ayahnya di atas adalah tiga paragraf pertama sebuah cerita berjudul Belanja di Swalayan Indomart. Aku tidak mengubah sedikit pun kisah tersebut. Termasuk nama minimarketnya. Kisah itu ada di buku LKS Bahasa Indonesia untuk siswa Kelas IV Sekolah Dasar.

Aku menemukan kisah mengejutkan itu melalui mesin pencari Google. Seorang ibu rumah tangga bernama Nia Mursid menulis perihal itu di blognya. Dia juga terkejut membaca kisah itu. Aku tidak ingin menjelaskan di catatan ini kenapa aku dan Nia Mursid terkejut membaca kisah Gista di atas. Buku yang sedang berada di tangan Anda ini sangat baik menjelaskannya.

KETIKA AKU membaca buku ini, tidak lebih 200 meter dari tempatku membaca sedang dibangun satu minimarket baru. Sebelumnya, aku tidak sadar, di tempat itu di mana aku sering membeli nasi kuning untuk sarapan, ada dibangun minimarket—yang sudah beroperasi sebelum aku menyelesaikan catatan ini. Tentu saja, kios kecil yang menjual nasi kuning dan kopi itu sekarang sudah tidak ada. Digusur.

Ibuku seorang perempuan yang lahir dari seorang ibu yang hidup dan besar di pasar tradisional—yang di buku ini lebih sering disebut pasar lokal. Ibuku mewarisi pekerjaan ibunya sebagai penjual bumbu-bumbu dapur. Dari sana dia menghidupi keluarga dan menyekolahkan aku dan dua orang adikku. Aku dan adik-adikku, pada saat hari Minggu dan liburan sekolah, menjadikan pasar tradisional sebagai arena bermain. Di sana, kami juga belajar bertahan hidup dengan menjual penganan tradisional bikinan ibuku. Kadang-kadang kami menjual kantong plastik atau korek api untuk mendapatkan uang untuk beli buku atau mainan yang kami inginkan. Ibuku bilang, pasar itu sekolah yang amat lapang.

Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota serta-merta mengembalikan masa kecilku. Buku ini membuatku bahagia karena mengembalikan masa kecil yang sudah jauh kutinggalkan itu. Aku seperti membaca novel yang menceritakan kehidupan keluargaku pada masa lalu. Aku membaca kisah ibu dan nenekku di kisah perjuangan para pedagang di buku ini. Lebih dari itu, buku ini membuatku malu karena cuma mampu melihat satu lagi minimarket berdiri di dekat rumahku.

Ketika kota seperti Makassar berlomba ingin menjadi ‘moderen’ dan menyebut diri sebagai kota dunia, buku ini menunjukkan hal menarik perihal satu dunia dalam kota yang terlupakan. Dunia yang sengaja ingin kita lupakan.

BUKU INI asing, jujur, berani, dan (karena itu) penting buat dibaca. Bukan hanya penting untuk dibaca oleh Gista dan keluarganya—atau tetangga mereka. Buku dengan gaya bertutur apik ini juga penting dibaca oleh teman-teman ayah Gista, teman-teman ibu Gista, dan teman-teman kakak Gista.

Keluarga Gista adalah kita. Untuk itu, buku yang lahir dari riset memadai ini juga penting dibaca oleh kita—dan teman-teman kita.

Aku membayangkan ayah Gista seorang anggota dewan yang juga memiliki banyak usaha, mungkin usaha properti dan rental mobil. Ibu Gista seorang dosen. Kakak Gista seorang gadis manis yang masih kuliah di fakultas kedokteran.

Hari itu, ketika Gista dan ayahnya sedang jalan-jalan dan belanja di minimarket Indomart, ibunya sedang berada di mal atau supermarket—juga sedang belanja atau sekadar jalan-jalan menghibur diri bersama teman-teman arisannya. Di salah satu sudut kafe, kakak Gista dan teman-temannya sedang asyik di depan laptop, memilah-milih pakaian yang ingin mereka beli dari sejumlah online shop.

Di tempat lain, sejumlah pengusaha baru saja kelar meeting—di satu ruangan pemerintah kota. Mereka berencana membangun lebih banyak tempat belanja untuk teman-teman Gista, teman-teman orang tua Gista, dan teman-teman kakak Gista. Para pengusaha itu tertawa puas membayangkan rencana mereka akan segera terwujud—apalagi setelah melihat sejumlah media dengan halaman warna-warni penuh berita tentang mal dan supermarket.

Sementara itu, di Pasar Terong, jauh dari suara tawa para pengusaha itu, ribuan pedagang yang tidak dikenal oleh Gista dan keluarganya sedang merasa was-was dari berbagai macam ancaman yang setiap saat siap menerkam mereka.

Apa yang membuat para pedagang di Pasar Terong—dan pasar tradisional lain di negeri ini—was-was? Para penulis buku ini dengan amat menarik menjelaskannya. Siapa saja yang ingin menerkam para pedagang itu? Buku yang dikerjakan cukup lama ini juga menyediakan jawabannya. Barangkali kita ada di antara mereka.[]

Judul:       Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota
Penulis:    Agung Prabowo, dkk
Editor:      Anwar Jimpe Rachman
Penerbit:  Ininnawa, AcSITanahindieSADAR, dan MakassarNolKm.Com
Tebal:        xx + 240 hl

(M. Aan Mansyur, @hurufkecil, penulis)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar