Makassar sedemikian sempitkah untuk pertumbuhan penduduk hingga membutuhkan tanah baru? Begitulah pertanyaan utama yang disampaikan arsitek Elisa Sutanudjaja ketika membandingkan reklamasi yang dilakukan di bagian utara Jakarta. Inilah bagian ketiga atau catatan terakhir dari diskusi tentang Losari pada awal September 2012 lalu.
Elisa memberi penegasan pernyataan beberapa perwakilan sebelumnya, bahwa banyak aspek di luar Losari yang harus menjadi perhatian bersama. Ada aspek ekologi yang perlu mendapat jaminan bahwa pembangunan ini tidak akan berdampak ke aspek kehidupan lain.
“Jangan sampai kita tidak menemukan hal-hal baru setelah reklamasi, hal yang bisa kita dapatkan dari riset aspek sosial, budaya, atau cerita dari warga,” kata Elisa. Ia mempersilakan Muhammad Cora dari Arsitek Komunitas (Arkom) berbagi pengalaman.
Muhammad Cora lalu menceritakan bagaimana pengalamannya bersama rekan-rekannya selama mendampingi Kampung Pisang, sebuah permukiman di Kelurahan Maccini Sombala, tepat di belakang Universitas Atmajaya.
Kampung ini kampung di atas rawa. Awalnya kawasan ini wilayah kecil. Belakangan meluas karena endapan dari Sungai Je’ne Berang. Sedimentasi itu meluaskan kawasan Kampung Pisang, yang hingga kini terus menjadi sengketa berbagai pihak. Menurut informasi penghuni, perkampungan itu terbentuk pada awal tahun 2000. Kini penghuninya sudah mencapai 72 keluarga.
Berdasarkan dari cerita Cora, praktisi tata kota, Yulianti Tanyadji menanggapi bahwa rupanya membincangkan isu Losari di satu sisi tampak hanya membincangkan ruang publik, ruang sosial. “Namun ketika kita melihat lebih luas, malah jadi lebih rumit,” kata Yuli yang juga arsitek ini.
Dias Pradadimara, dosen Jurusan Sejarah Unhas menambahkan, ini menjadi pertanda bahwa warga kini memerlukan data hasil studi yang lebih lengkap. “Pastinya ada data dari pemerintah terkait tapi belum dibuka,” kata Pak Dias.
Marco Kusumawijaya memberi penegasan bahwa hal terpenting membincangkan reklamasi adalah melihat dampak baik dan buruknya. “Apakah setelah reklamasi masih ada jatah khusus yang cukup untuk publik atau tidak,” ujar Marco.
Gambaran rencana pembangunan CPI (Center Point of Indonesia).
LOSARI tampak menjadi ‘korban’ pertarungan politik. Ditengarai, rencana reklamasi pantai barat Makassar ini sekadar ‘wacana tandingan’ dan tanggapan segelintir kalangan tatkala mengemuka usulan agar memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah. Hal ini lalu mengakibatkan kawasan Losari sampai sekisar Benteng Somba Opu menjadi zona pertumbuhan ekonomi bebas.
Ini juga diperparah dengan pengiblatan Jakarta sebagai sumber dari segala hal. “Begitu ada tawaran dari pemerintah pusat untuk membangun zona ekonomi, maka pemerintah di daerah langsung membuatkan gambar. Karena bagi Daerah, inilah kesempatan mereka untuk mendapat sesuatu dari Pusat,” jelas Marco.
Efek setelah itu membuat kawah politik lokal mendidih. Pertarungan besar kekuatan politik dimulai. Walikota membuat perda lalu diserahkan ke legislatif. Karena legislatif menolak dan meminta perbaikan. Belakangan tersiar kabar bahwa perbaikan itu untuk mengakomodasi beberapa ruang yang dipesan oleh investor untuk membiayai partai politik mereka.
“Kita ini dikepung isu, tidak pernah ada yang jelas. Kita lengah sedikit, ternyata jadi. Saya kira tantangan terberat kita ini karena isu kompleks, berubah-ubah, dan sengaja dikaburkan,” kata salah seorang peserta diskusi.
Dua bocah di Pantai Losari. “Kotak ini dibikin mobil-mobilan,” kata si baju putih. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
PARA HADIRIN diskusi Pantai Losari pada awal September 2012 itu bersepakat untuk meminta informasi lengkap terkait reklamasi Losari dan rencana pembangunan dari pemerintah. Demikian pula sebaliknya, pemerintah harus membuka segala keterangan yang terkait rencana-rencana yang akan mereka laksanakan.
Menurut Taufik, aktivis Walhi, perbincangan yang berlangsung pada awal September lalu merupakan gagasan yang tidak biasa. “Tema ini sudah ada sejak dulu. Tapi pertanyaan kita sekarang adalah apakah upaya ini bisa jadi kolaborasi dan bisakah kita saling memperkuat agar daya dobraknya juga lebih kuat?” tanya Taufik.
Syaifullah Daeng Gassing dari Anging Mammiri, komunitas blogger Makassar, mengatakan, langkah pertama upaya ini dengan menyebar informasi. Ia meyakini, banyak orang di luar sana yang belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di Makassar.
“Dimulai dari kita yang ada di sini dulu, baru dorong ke luar. Jika informasi telah cukup banyak, seperti masyarakat lain, bisa jadi lebih berani mempertanyakan dan melakukan gerakan,” jelas Syaifullah.
Marco setuju. Lelaki berkacamata ini meyakini bahwa ilmu pengetahuan mampu mengubah kebijakan pemerintah yang merugikan orang banyak.
“Tanpa ada yang memulai pengetahuan, kesadaran tidak ada, perubahan tidak akan terjadi!” tegas Marco.
Demikianlah tujuan kehadiran website ini: menjadi tempat baru berbagi pengetahuan sesama warga dari berbagai kalangan yang hidup di Makassar dan Sulawesi Selatan demi kehidupan yang lebih layak dan lebih manusiawi.[]
fenomena shadow state di makassar benar-benar nyata. hanya mereka yang meluangkan waktu pada kehidupan sehari-hari warga kota yang bisa merasakannya. mereka yang bergulat pada isu-isu politik yang elitis (mis: pilkada dan semacamnya) biasanya alfa melihat fenomena ‘negara bayangan’ ini, karena ternyata mereka malah jadi bagian dari alat negara yang berfungsi sebagai pengendali keadaan. Inilah awal terciptanya tata pemerintahan yang buruk, seperti terjadi pada ruang-ruang publik, seperti losari, karebosi, dan benteng sombaopu.
Jika merujuk pada masalah revitalisasi lapangan karebosi, sy salah satu dari sekian banyak warga yang menentang konsep yg ada sekarang. Secara pribadi sy menganggap yg ada sekarang itu bukan revitalisasi, tp redesign kawasan. merubah fungsi kawasan. Setahu sy revitalisasi itu selalu merujuk kepada fungsi utama kawasan tersebut. Apa yg telah terjadi pd lapangan karebosi adalah mengubah fungsi utamanya sebagai kawasan ruang terbuka publik menjadi kawasan perdagangan yg dikuasai oleh segelintir orang. Sebuah kebijakan yg sangat tidak bijak yg sdh dibuat oleh pemkot dan pihak perencana. Status lapangan Karebosi sebagai salah satu situs sejarah di daerah ini seperti hilang tak berbekas, terhapus oleh perencanaan dan modernisasi yg menurut sy sdh kebablasan tanpa melihat fungsi dan status lapangan karebosi itu sendiri sebagai ruang terbuka publik dan situs sejarah yg menjadi saksi bisu tumbuh berkembangnya kota makassar….
revitalisasi atau redesign bagi penguasa dan pengusaha yang bersekongkol tak penting.. apapun namanya sepanjang menghasilkan keuntungan sepihak bagi mereka, maka mereka akan lakukan. masalahnya sekarang kekuatan penyeimbangnya tak berkutik, atau dalam bahasa yang lebih halus organisasi non-pemerintah di Makassar masih belum menemukan formasi permainan yang jitu dan kekompakan tim yang prima menghadapi serangan modernisasi oligarki kapitalis ini.