Alm KH Bakri Wahid (kanan) ketika siaran di RRI (foto; Tribun Timur)
Beberapa hari ini entah kenapa bayangan suara dari Pak Kyai dan Daeng Naba di RRI Nusantara IV selalu membayang di kepala. Malam ini saya mencoba googling dengan kata kunci Kyai Bakri Wahid. Betapa terkejutnya saya melihat tautan ke sebuah laman berita di Makassar. Ternyata beliau sudah berpulang tanggal 21 Juli kemarin! Rasa sedih dengan cepat menjalar ke dalam dada.
Saya menghabiskan banyak masa kanak-kanak dan remaja dengan suara beliau setiap Ramadan datang. Lelaki bernama asli Bakri Wahid ini memang lebih kondang dengan nama Pak Kyai, merujuk kepada nama panggilannya dalam acara obrolan sahur di RRI. Bersama pasangannya Syamsu Marlin yang lebih dikenal dengan nama Daeng Naba mereka datang menyapa para pendengar setianya setiap sahur.
Semasa kecil saya selalu membayangkan pak Kyai dan daeng Naba berada di sebuah rumah, tentu merujuk kepada pembukaan acara yang memperdengarkan adegan pintu diketuk oleh daeng Naba. Belakangan saya tahu kalau ternyata mereka siaran di stasiun radio, tentu saya tahu ketika saya beranjak lebih dewasa.
Selama kurang lebih 1 jam mereka berdua akan membahas banyak hal seputar agama Islam, sebagian besar adalah tentang syariat dan hal-hal mendasar. Para pendengar diberi kesempatan bertanya lewat surat dan akan dibacakan oleh daeng Naba. Pak Kyai kemudian akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Waktu itu tentu saja internet belum sepopuler sekarang dan teleponpun rasanya masih milik segelintir orang, jadi suratlah yang menjadi medium tanya-jawab Pak Kyai dan ummat.
Saya ingat betul, masa itu televisi swasta belum sampai ke kota kami. Dengan mata masih mengantuk kami sekeluarga duduk di depan meja makan menikmati sahur bikinan ibu. Latar suara yang menemani kami sahur adalah suara khas dari Pak Kyai. Selalu menyenangkan ketika mendengar suara lelaki tua itu. Teduh tapi tetap tegas.
Selama bertahun-tahun saya juga selalu penasaran bagaimana wajah beliau yang sebenarnya? Sesekali beliau pernah tampil di televisi (tentu saja TVRI) dan saya ingat dalam hati saya berkata, “oh, ternyata begini ya mukanya Pak Kyai?.” Ketika itu radio memang belum tersaingi oleh televisi.
Pak Kyai atau nama aslinya Bakri Wahid aslinya adalah lelaki kelahiran Padang, Sumatera Barat. Ketika berumur 23 tahun atau sekisar tahun 1954 beliau menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan. Tujuan utamanya adalah berdakwah. Awalnya beliau menjadi guru agama di sebuah SMP Islam di Jeneponto sebelum akhirnya mengabdi sebagai pegawai negeri sipil di kantor agama.
Nama beliau makin dikenal publik ketika mulai mengisi acara obrolan sahur bersama Syamsu Marlin atau daeng Naba di radio RRI Nusantara IV. Meski hanya hadir setiap tahun di bulan Ramadan tapi bagi banyak orang, acara ini adalah acara favorit. Perlahan tapi pasti nama ulama kharismatik ini juga makin dikenal publik di kota Makassar dan Sulawesi Selatan.
Saya lupa tahun berapa terakhir saya menikmati sahur ditemani suara beliau, tapi pastinya ketika televisi swasta mulai masuk Makassar. Ketika itu pilihan acara menjelang sahur makin beragam dan tentu saja terasa lebih menarik karena menghadirkan gambar dan bukan hanya suara. Sesekali Almarhum Bapak masih suka memutar RRI ketika sahur, tapi perlahan kami sama sekali tidak pernah mendengar lagi suara beliau.
Sekisar 4 tahun lalu saya pernah bertemu dengan Pak Kyai. Ketika itu beliau membawakan khutbah jumat di masjid dekat kantor. Saya bersila di antara para jamaah dan suara khas beliau dengan cepat membawa kenangan-kenangan masa kecil berseliweran di kepala. Suara beliau sama sekali tidak berubah meski terlihat betul tubuhnya makin ringkih dimakan usia.
Puasa tahun ini saya banyak ditemani siaran televisi. Sebagian di antaranya hanya sampah, lelucon kasar yang menjadikan fisik orang sebagai objek. Mereka tertawa lepas setelah mengejek fisik lawan mainnya, atau selepas membubuhkan tepung atau bedak ke kepala lawan mainnya. Memang masih ada acara sahur bermutu di televisi nasional kita, tapi sebelah jari tangan sudah sangat lebih untuk menghitungnya.
Ketika itulah entah kenapa saya tiba-tiba merindukan sahur masa kecil yang rasanya lebih polos. Sahur sederhana bersama keluarga sambil mendengarkan penjelasan agama dari Pak Kyai. Sungguh saya terperanjat ketika membaca kabar kepergian sang ulama kharismatik. Satu lagi kehilangan besar untuk kita, untuk warga Sulawesi Selatan.
Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan memberi tempat terbaik di sisiNya. Selamat jalan pak Kyai, terima kasih untuk masa-masa indah yang telah engkau hadirkan dalam masa kecil saya. Terima kasih.
Tautan berita kepergian Alm. Bakri Wahid bisa dibaca di sini.