Merekam Makassar dari Titik Nol

Judul: Makassar Nol Kilometer (Edisi Revisi)

Penulis: Anwar J. Rachman, Ernaeda Naharuddin, Ichsan Amin, Ilham Halimsyah, Irawan Amiruddin, Ismail Ibrahim, Mansyur Rahim, M. Aan Mansyur, M. Nur Abdurrachman, M. Taufan, Nur Chaerul, Nurhady Sirimorok, Risal Suaib, dan Wahyu Chandra.

Editor: Anwar J. Rachman, M. Aan Mansyur, dan Nurhady Sirimorok

Penerbit: Ininnawa – Tanahindie

Halaman: xviii + 255 halaman

Tahun terbit : 2011

ISBN : 978-602-95231-7-1

Harga : Rp 62.500

Makassar Nol Kilometer versi revisi dan versi awal (sampul kuning) [foto: @dhilayaumil]

“Kini, ia menjadi tempat melihat sejarah yang terpacak diam, dan ditatap dari kacamata beku. Menjadi tempat generasi tak kenal diri, menatap masa depan dari kesadaran yang terus terjajah.” -Nurhady Sirimorok-

Apa yang kita ketahui tentang Makassar selain merupakan ibu kota Sulawesi Selatan, luas yang mencapai 175,77 km² dengan jumlah populasi kurang lebih 1,4 juta jiwa? Atau salah satu kota di Kepulauan Sulawesi yang dulunya bernama Ujung Pandang? Pantai Losari, Coto Makassar, Bandara Internasional Hasanuddin, atau mungkin Trans Studio Theme Park?

Lebih dari itu, masih banyak cerita yang disimpan kota berjuluk Kota Daeng ini. Tentang kebudayaan masyarakatnya, adat, kebiasaan, dan tempat-tempat yang menyimpan histori tersendiri yang menjadi ciri pembeda Makassar dengan kota-kota lain di Indonesia atau bahkan di dunia. Kesemuanya—cerita tersebut—ada yang masih membekas di ingatan masyarakatnya dan mungkin akan dan sudah hilang. Buku ini mungkin hadir karena ketiga hal tersebut; mempertahankan yang masih ada dan menghadirkan kembali yang sudah dan akan hilang.

Kumpulan cerita mengenai Makassar dari beberapa penulis dengan latar belakang berbeda tapi sama dalam satu hal: sedikit banyak mengenal sebagian kota Makassar. Tulisan dalam buku ini terbagi ke dalam empat bagian, yaitu komunitas, kuliner, fenomena, dan ruang. Keempatnya mencoba menceritakan kota Makassar dari perspektif masing-masing penulisnya. Bagian pertama, Komunitas. Sekelompok masyarakat yang memiliki ketertarikan khusus terhadap sesuatu dan memiliki sifat khas. The Macz Man (klub supporter PSM), Waria Karebosi, Tukang Becak, dan Payabo (pemulung) adalah beberapa kumpulan yang ada di Makassar.

Tulisan-tulisan dalam buku ini mencoba menceritakan bagaimana kehidupan orang-orang yang berada di suatu komunitas tertentu. Waria Karebosi misalnya, sekumpulan waria yang menjadikan Lapangan Karebosi sebagai tempat ‘mangkal’ dan memiliki bahasa-bahasa kode yang hanya diketahui oleh sesamanya.

Bagian kedua, Kuliner. Makassar terkenal dengan bermacam kulinernya, mulai dari Pallubasa, Coto Makassar, Es Poteng, Sarabba, Jalangkote, Ballo’, dan masih banyak lagi macam jajanan makanan dan minuman yang dijajakan di Makassar. Bagian ketiga, Fenomena. Gejala atau kejadian luar biasa yang lambat laun menjadi suatu hal yang rutin terjadi di Makassar. Iring-iringan mayat, bahasa prokem, tawuran antarkelompok, massiara adalah beberapa fenomena yang sering terjadi di masyarakat kota Makassar—dan mungkin hanya ada di Makassar. Kata japrut (jappa paruntang—berjalan tak tentu arah), limbi’, pete-pete, atau jalkot mungkin hanya akan ditemukan di tengah masyarakat Makassar saja.

Bagian terakhir, Ruang. Tempat yang merupakan penanda kota, seperti Benteng Somba Opu, Lapangan Karebosi, Pantai Losari, Nusantara, sampai Pasar Cidu. Tempat-tempat yang memiliki kisah tersendiri. Membaca buku ini, saya banyak memperoleh pengetahuan baru, khususnya tentang kota Makassar dulu dan sekarang. Membuat ingatan tentang masa kecil saya kembali muncul, mengingat beberapa hal—baik itu tempat atau fenomena—dalam buku ini sudah berbeda dengan apa yang ada sekarang. Para penulis tersebut sangat lihai mengaduk emosi pembaca melalui gaya penulisan yang mengalir dan santai, meskipun pengambilan sudut pandang tidak sama melihat latar belakang penulisnya yang berbeda.

Berusaha memunculkan kembali apa yang telah hilang dengan sisa-sisa ingatan mereka. Berbicara kekurangan dalam buku ini, saya pribadi tidak menemukan banyak hal yang dianggap kurang. Hanya saja pemaparan cerita dalam buku ini bagi saya, benar-benar melalui perspektif subjektif penulis, meskipun melalui beberapa survey dan penelitian lapangan. Cerita-cerita yang dimuat di dalamnya juga masih kurang. Tapi sedikit terpahami, sebagaimana dikatakan editor dalam buku ini bahwa, “Buku ini merupakan ‘jendela masuk’ untuk mengkaji kota Makassar lebih mendalam.”

Secara keseluruhan, saya berkesimpulan bahwa buku ini sangat layak dibaca siapapun. Bagi Anda yang ingin bernostalgia dengan kota Makassar. Bagi Anda yang ingin membandingkan perubahan apa yang sudah dilakukan kota Daeng dalam kurun waktu beberapa tahun. Bagi Anda yang bukan berasal dari kota Makassar, buku ini menjadi pengantar bagi Anda untuk mengetahui hal-hal unik apa yang tersimpan di balik kota ini. Bagian depan buku ini juga terdapat glosarium yang memuat istilah-istilah yang sering muncul.

*nb: buku ini merupakan buku revisi dari buku sebelumnya. Tanpa maksud membandingkan dengan buku sebelumnya (sampul kuning, terbitan 2005), ada satu judul cerita yang tidak dimasukkan dalam buku ini yaitu tulisan tentang Tanjung Bayang (Di bawah bayang-bayang urban). Selain itu, isi dalam buku ini dengan buku sebelumnya sama.

(Nurul Fadhilah, @dhilayaumil, mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia UNM)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (171 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar