Pengantar Redaksi: Tulisan ini merupakan catatan seorang warga hanya beberapa hari setelah kebakaran Pasar Sentral, lengkap dengan ingatan kanak-kanaknya tentang pasar ini. Lantaran catatan ini cukup panjang, MakassarNolKm.com akan membaginya menjadi dua bagian. Selamat menyimak!
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menginvestigasi mengapa Pasar Sentral Makassar bisa terbakar pada Selasa dini hari, 28 Juni 2011. Tulisan ini hanya untuk melestarikan kenangan-kenangan dari pasar historis yang kembali menjadi puing, terutama bagi warga Tionghoa Makassar.
Terbakarnya Pasar Sentral (foto by: Armin Hari)
1991. Pasar Sentral, Makassar – terbakar.
Subuh itu, sekitar pukul lima, samar-samar mataku terbuka karena suara Mama membangunkan Papa.
”Pasar Sentral ta sau - terbakar,” kata Mama dalam bahasa campuran Indonesia-Mandarin. ”Bisakah kau membantu Ayi Sui Ing mengeluarkan barang-barangnya?”
Sui Ing, wanita Hokkian teman keluarga kami punya gerai menjahit di Pasar Sentral. Sepertinya dia menelepon ke rumah kakak laki-laki Papa karena rumahku tidak memiliki telepon. Dan pada dini hari itu, Geipa atau Paman Kedualah yang ke rumah kami untuk memberi tahu Papa. Rumah kami memang berdekatan.
Aku hendak bangun juga – tapi Mama melarang. Kali ini dalam dialek Kaiping, bahasa asli suku Guangdong kami.
”Ndei mm soi hei sin! Hin co ouk si!” – Kau tak perlu bangun. Besok sekolah.
Saya tak ingat hari itu tanggal dan bulan berapa. Tapi sepertinya Jumat atau Sabtu. Karena paginya saya mengenakan seragam pramuka coklat-coklat ke sekolah. Saya juga tak ingat apakah saya ke sekolah lewat jalur biasa atau melihat kepulan asap dari pasar yang terbakar itu? Kebetulan sekolah saya, SD Negeri Irian I, letaknya hanya 500 meter dari Sentral.
Zaman itu belum ada internet. Belum ada handphone atau smartphone yang bisa memotret kejadian yang tengah berlangsung lalu mempostnya ke Facebook atau Twitter. Tapi peristiwa kebakaran pasar itu segera menjadi trendtopic di sekolah hari itu. Bahkan beberapa hari sesudahnya.
Tahun 91 belum banyak mal, departement store, swalayan, butik, dan distro buka di Makassar. Warga kebanyakan menuju Sentral karena menganggap di sanalah penyedia kebutuhan terlengkap. Pasar Sentral kala itu memang menyediakan aneka kebutuhan mulai dari primer, sekunder, hingga tersier. Kebutuhan primer seperti sembako paling lengkap. Untuk sandang- papan seperti kain, pakaian serta perabot rumah tangga, juga komplit.
Guru-guruku mengeluh karena tak bisa lagi berbelanja barang-barang kebutuhan mereka. Begitu juga dengan ibu rumah tangga seperti Mamaku. Jarak antara rumah kami dengan Sentral sebenarnya cukup jauh. Perlu naik pete-pete atau angkot baru sampai ke sana. Untuk makan sehari-hari, Mama lebih memilih berbelanja ke pasar dekat rumah. Di sana tersedia sayur-mayur umum seperti taoge, chaisim (sawi hijau), sayur putih, kol, wortel. Bawang, jahe, kunyit. Juga ada ikan dan seafood. Satu dua kali, ada yang menjual daging sapi.
Tapi pasar dekat rumah kami tak menyediakan bahan-bahan untuk memasak Chinese Cuisine. Contoh: labu putih atau Tong koa dalam bahasa mandarin, akar teratai, kailian, bok choy, daun bawang halus, daun yuan sai, lobak putih serta yang paling utama: daging babi. Khusus untuk item terakhir, tidak boleh dijual di pasar sembarangan karena bukan konsumsi umum.
Bukan hanya bahan masakan khusus yang dibutuhkan orang-orang Tionghoa Makassar dari Pasar Sentral. Tapi juga berbagai perlengkapan ritual bagi upacara tradisional seperti uang-uangan kertas, dupa, lilin. Semua juga tersedia di Sentral.
***
Menurut orangtuaku, tanah yang menjadi bangunan Pasar Sentral ketika mereka masih balita merupakan Jera’ Cinayya - Pekuburan China.
Waktu itu tak ada bangunan permanen yang disebut pasar. Para pedagang berjualan menggelar tikar, tenda dan gerobak di tanah lapang diluar tembok kuburan. Tapi jika tempat lain pasarnya berkala, pasar Jera’ Cinayya berlangsung tiap hari. Kegiatan dimulai pagi hari dan berakhir siang hari. Para pedagang mengepak kembali barang-barang mereka lalu pulang, dan kembali lagi keesokan harinya.
Sebelum Perang Dunia II, Makassar masih kota kecil. Wilayah yang disebut Jera’ Cinayya itu sudah dianggap pinggiran kota. Setelah 1945, penduduk bertambah dan pemukiman semakin meluas. Jera’ Cinayya digusur untuk dibangun permukiman serta fasilitas bagi orang-orang yang hidup.
Jera’ Cinayya terbentang sangat luas. Mulai dari wilayah yang sekarang menjadi Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo (Jalan Irian) depan Lapangan Karebosi, hingga ke utara di perbatasan Jalan Diponegoro. Pekuburan lain yang ikut dipindah adalah pemakaman Kristen-Belanda yang berdampingan dengan Jera’ Cinayya.
Usai digusur, di tanah bekas pekuburan Kristen-Belanda dibangun klinik paru-paru, lembaga pemasyarakatan dan sejumlah rumah serta toko. Di tanah lapang tempat pasar Jera’ Cinayya dibuat bangunan permanen. Dan sejak itu disebut Pasar Sentral. Kemungkinan besar berasal dari kata Central yang dalam bahasa Inggris berarti pusat.
Karena sudah menjadi bangunan permanen, semakin banyak pedagang yang yang masuk mencari nafkah di sana. Kalau sebelumnya hanya menjadi pasar basah yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan pangan, perlahan-lahan Sentral juga menyediakan aneka barang lain. Sesuai arti namanya, untuk menjadi pusat dari segala kebutuhan.
***
Sebelum kebakaran 1991 itu, saya jarang berkunjung ke Pasar Sentral.
Hanya Mama yang rutin ke sana. Mungkin waktu itu Mama ogah mengajak saya ke pasar tradisional. Tahulah anak kecil, begitu masuk ke tempat yang becek, bau dan panas, langsung saja merengek minta pulang.
Justru pasca kebakaran barulah saya sering menginjakkan kaki ke sana. Waktu itu saya sudah sepuluh tahun. Sudah bisa menolerir tempat-tempat tak nyaman.
Biasanya tiap hari Minggu jika saya pergi ke rumah Apho (nenek dari pihak ibu), Ji Toe atau adik perempuan bungsu Mama akan ke Sentral membeli sayuran dan terutama daging babi mentah. Cukup buat seminggu. Saya cukup senang jika diajak, meski hanya bertugas mengangkat keranjangnya.
Karena pasca kebakaran, pedagang berjualan di bangunan papan darurat sepanjang Jalan Agus Salim. Sementara itu, puing-puing pasar lama dibersihkan dan konstruksi pasar baru dimulai. Rancangan Pasar Sentral baru sangat berbeda dari yang lama. Ia tidak lagi berlantai satu – tapi nantinya ada empat lantai untuk menampung para pedagang dan pembeli.
Di barat dan selatan Pasar Sentral yang baru itu juga dibangun pertokoan. Pasar Sentral baru ini diharapkan akan menjadi pusat perbelanjaan terbesar, termodern, dan terbersih di Sulawesi Selatan.
Sambil menunggu seperti apa rupa Pasar Sentral baru, saya tetap mengikuti Ji Toe setiap hari Minggu ke pasar darurat itu. Biasanya usai dari bangunan papan, kami pergi ke sebuah toko depan bangunan darurat. Toko itu cukup lebar. Terbagi dua. Sebelah kiri dari pintu masuk menjual kain batik. Sebelah kanannya terbagi kios-kios yang menjual obat, aksesoris, kue, dan kelontong. Belakangan saya baru tahu kalau si penjual kain adalah pemilik toko itu. Pasca kebakaran dia membagi dua tokonya lalu mempartisinya untuk disewakan sementara kepada beberapa pedagang yang kiosnya terbakar.
Sehabis belanja dari bangunan darurat, kami sering mampir ke sana. Biasanya saya dibelikan kue basah di kios kue yang pemiliknya dipanggil A Heng. Ji Toe membeli bumbu atau makanan kering di kios kelontong yang kita sebut Chin Tik. Mama membeli jepit rambut di kios aksesoris dan obat di kios obat yang dijaga oleh seorang ancek tua dan putrinya.
Pasar Sentral baru diresmikan tahun 1994. Itu tiga tahun pasca kebakaran. Saya sudah duduk di bangku kelas satu SMP. Kali ini, kembali sekolah saya berdekatan dengan Pasar Sentral karena terletak di Jalan Bali.
Bangunan Pasar Sentral baru memang mengagumkan. Berlantai empat. Dengan susuran panjang agar mobil bisa mendaki parkir ke atap di lantai lima. Ada eskalator dan AC. Ini pasar pertama di Makassar yang punya tangga berjalan dan penyejuk ruangan! Luar biasa! Bayangan pasar tradisional yang sumpek, gerah, dan manual hilang. Bahkan di tempat baru ini, Matahari Departemen Store sudi membuka gerai pertamanya di Kota Makassar. Tepatnya di lantai empat.
Nama Pasar Sentral pun diganti dengan Makassar Mal. Mal pertama kota Makassar. Bangunan ruko di sepanjang sisi barat dan utara menjelma menjadi toko sepatu dan tekstil. Pasar basah tetap ada. Terletak di lantai satu. Menghadap ke timur. Pintu masuknya di bawah susuran panjang mobil naik-turun itu. Tempat berjualan daging babi dibuat khusus di basement.
Tapi dalam kurun setahun, kekaguman pada Pasar Sentral aka Makassar Mal memudar. AC-AC tidak berfungsi. Eskalator pelan-pelan tidak beroperasi. Belakangan beralih fungsi menjadi tangga manual saja. Udara di dalam pasar sumpek luar biasa. Tak ada sirkulasi sama sekali. Jika masuk, keluarnya, sekujur badan akan bau. Mama sering berkomentar kalau para pedagang terus bertahan di dalam sana setiap hari, mereka bisa mendapat penyakit pernapasan.
Lebih parah lagi, di pasar basahnya pada musim hujan banjir. Selokan-selokan tidak mengalir. Becek di mana-mana. Jika tidak hati-hati, bisa terpeleset. Upaya pembersihan tidak maksimal. Bercak dan peyot di lantai terus-menerus ada. Hingga bertahun-tahun.
[bersambung]
Cerita ini adalah buah tulisan dari seorang warga kota Makasar- Merlin Herlina- untuk mengenang sebuah pasar yang dulu sangat terkenal.
terima kasih catatannya. Dalam tulisan saya https://makassarnolkm.com/dari-pasar-cidu-ke-pasar-sentral/ tidak disebutkan bahwa tahun 1991 terjadi kebakaran. Saya lupa memasukkannya. Dalam wawancara saya dengan salah seorang pedagang di Pasar Sentral peristiwa ini memang dikabarkan dan saya alfa memasukkannya dalam tulisan saya.