Pasar Sentral Makassar Terbakar (lagi) [2]

Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan bagian pertama yang kami tayangkan Selasa kemarin. Masih bercerita tentang kenangan warga atas Pasar Sentral yang terakhir terbakar Juni tahun 2011. Selamat menikmati.

Api melalap Pasar Sentral, Juni 2011 (foto by: Armin Hari)

Pada tahun 1997, Ji Toe menikah, saya masuk SMA dan setahun kemudian ada krisis moneter.

SMA saya lagi-lagi dekat dari Sentral. Kali ini di Jalan Ternate. Waktu SMA saya mengambil ekstra kurikuler basket. Karena sekolah siang sampai sore, ekskul kami diadakan pagi hari.

Kami biasa latihan di lapangan basket Flying Wheel Jalan Laiya. Dari jam tujuh hingga setengah sepuluh pagi. Kalau libur, kami biasa main sampai jam sebelas siang. Pulang dari sana, saya dan beberapa teman perempuan jalan kaki dari Jalan Laiya sampai ke perempatan Jalan Timor-Irian untuk naik pete-pete pulang ke rumah.

Biasanya kami lewat di belakang ruko-ruko sisi utara Sentral. Daerah yang semula jalan raya itu berubah menjadi tempat mangkal pedagang kaki lima yang menggelar jualan di bawah tenda. Satu dua kali kami masuk ke Pasar Sentral. Yang menurut saya selalu tambah padat dari terakhir kali saya datangi. Saya seperti tersesat dalam labirin kios jika tidak ada yang menuntun keluar.

Kurun waktu 2001-2011, saya kembali memasuki Pasar Sentral. Tidak sering, tapi lebih banyak daripada ketika SMA. Umumnya saya hanya memasuki pasar basahnya saja. Yang selalu saja tampak kotor dan kusam. Tapi barang-barangnya memang masih belum bisa dicari di tempat lain. Jadi separah apapun kondisinya, orang pasti kembali ke sana.

Sentral juga menawarkan hal lain selain transaksi jual-beli. Reuni tak langsung warga Tionghoa di Makassar. Hanya di pasar ini orang bisa melihat percakapan dua orang atau lebih wanita Tionghoa yang saling menanyakan kabar. Walau tinggal sekota dan berkerabat, kadang-kadang mereka bertemunya hanya di Sentral. Di Sentral juga kita bisa mendengar rupa-rupa bahasa: Indonesia, Makassar, Bugis, Mandarin, Kanton sampai Hokkian.

Jika saya masih sering menjejakkan kaki di Sentral, Ji Toe saya sebaliknya. Dia sama sekali tidak pernah ke Sentral lagi. Apalagi, tak jauh dari rumahnya ada pasar Tionghoa lain: Pasar Bacan.

Pasar Bacan menjual barang-barang yang mirip di Sentral. Khususnya bahan Chinese Cuisine. Tapi dengan harga lebih mahal. Pasar Bacan sebelumnya terletak di Jalan Lembeh, depan gedung Bioskop Ratu. Tapi setelah gedung bioskop itu menjadi rumah salah satu yayasan Tionghoa, para pedagangnya pindah ke Jalan Bacan.

Ukuran Pasar Bacan jauh lebih kecil dari Sentral. Ia sebenarnya hanya lapak-lapak tenda. Konsepnya mirip dengan Pasar Je’ra Cinayya tujuh puluh tahun lalu. Jika mulai berjualan pagi hari, Jalan Bacan akan ditutup. Dan baru dibuka kembali setelah pasar selesai lewat tengah hari.

Tapi kehadiran Pasar Bacan cukup untuk memecah pengunjung Pasar Sentral. Warga Tionghoa tak lagi melulu harus ke Sentral. Ada alternatif lain yakni Pasar Bacan. Sementara di tempat tak jauh dari Bacan, dibangun pusat grosir tekstil baru: Pasar Butung. Pusat grosir ini juga membagi arus pengincar tekstil yang semula hanya ke Sentral.

***

Tahun-tahun belakangan, kalau saya berkunjung ke Sentral, rasanya pengunjungnya makin sepi. Kecuali pada bulan-bulan tertentu seperti puasa, pengunjung bisa membludak.

Saya tetap sering memasuki pasar basah di lantai satu. Dan berbeda dari dulu, kini setiap kali saya datang, rasanya ada kios yang penghuninya sudah resign.

Tempat Mama saya biasa membeli obat ketika pasar darurat masih sempat berjualan di Sentral baru. Tapi kira-kira setahun kemudian dia pindah ke jalan Sangir, membuka Apotik Pelita Farma yang lebih besar dari kios obat di pasar.

Toko kelontong Chin Tik juga punya lods di Sentral baru. Mereka bertahan cukup lama sampai – pada 2010 kemarin mereka memindahkan toko ke rumah keluarga di Jalan Timor.

A Heng juga punya kios dekat pintu masuk pasar basah yang menjual sayur-mayur. Dia terus bertahan hingga Selasa, 28 Juni 2011, ketika api kembali membumi hanguskan pasar Sentral aka Makassar Mal. Kali ini bukan hanya satu lantai seperti pada 1991. Tapi keempat-empat lantainya – termasuk Matahari Departemen Store, ludes terpanggang api.

***

Terbakar atau dibakar? (foto by: Armin Hari)

Selasa pagi, 28 Juni 2011, saya melihat berita di TV One.

Berita pasar Sentral terbakar. Awalnya tidak terlalu saya perhatikan. Ada banyak Pasar Sentral di Indonesia. Tapi tunggu dulu! Bangunannya kelihatan familiar. Saya melihat background orang-orang yang diwawancarai. Lho, itu kan tangga di sisi barat yang langsung ke Matahari?

Ini adalah kebakaran pasar kedua terbesar di Makassar dalam kurun enam bulan. Enam bulan lalu, pusat grosir tekstil pasar Butung juga nyaris ludes dilalap api.

Saya mengirim sms kepada Bapak Yonggris Lao. Rumah dan toko Ko Yonggris hanya berjarak sekitar dua puluh meter di sisi tenggara pasar Sentral. Balasan dari sms saya:

‘Iya.. Habis ludes.. Toko sy aman ji Makasih’ 

Sore kemarin ketika saya membuka facebook, rupanya status kawan-kawan yang tinggal di kota Makassar lima belas jam sebelumnya adalah terbakarnya Pasar Sentral. Saya mengklik wall Ko Yonggris dan menemukan foto-foto yang dijepret dengan kamera blackberry. Diposting berurutan dalam kurun waktu berbeda sebanyak empat kali.

Dari foto-foto itu kelihatan kalau api berawal dari sisi barat dan utara. Lalu foto-foto berikutnya memperlihatkan api telah mengelilingi lantai dua dan tiga yang merupakan tempat berjualan bahan tekstil. Kemudian ke lantai empat tempat Matahari. Sampai akhirnya turun membakar lantai satu.

Efan, mantan kawan SMA yang kemarin menelepon bercerita, ”Kami diberitahu sekitar jam satu malam. Katanya api sudah menyala dari jam sebelas. Kokoku langsung naik motor mau melihat kiosnya. Tapi dia tak bisa masuk ke dalam pasar. Rasanya, kios beserta isinya sudah habis.”

Efan tinggal di Jalan Andalas. Jarak rumahnya sekitar satu kilometer dari Pasar Sentral. Kakak lelakinya punya lods kelontong di lantai satu, dekat pasar basah sayur-mayur.

Saya teringat kawan SMA saya yang lain, yang punya kios pakaian jadi di lantai dua. Bagaimana dia?

”Kokoku bertemu salah satu pegawainya,” kata Evan. ”Dia bilang tak ada satupun barangnya bisa diselamatkan. Pintu ke lantai dua tidak bisa didobrak. Selain itu ada api.”

Efan juga bercerita tentang seorang Haji yang sempat diwawancarai di televisi. Dia punya sebelas kios berjualan barang tekstil. Sembilan anaknya semua berjualan di Sentral.

”Semua habis. Bahkan kalau pemerintah hari ini bisa membantu kami menggelar dagangan di atas puing-puing ini, kami akan langsung berjualan di sini!”

Bapak Haji itu dengan kecut berkata, ”Satu milyar itu masih sedikit jika dipakai menghitung kerugian kami…”

Tentu saja Bapak Haji itu ngebet harus membuka usahanya kembali. Sebagai pedagang, selain punya hutang yang harus dilunasi dari suplier, mereka juga harus membayar kredit yang diberikan oleh perbankan.

Sore kemarin Mama menelepon A Heng. Suaranya lesu, kata Mama.

Sebelum ini, A Heng sudah sering mengeluh karena sepinya pengunjung pada hari biasa. Pintu menuju kiosnya paling lambat dibuka. Akhirnya banyak pelanggannya yang beralih ke kios kue lain.

Jika saya ke Sentral, saya pasti singgah ke kiosnya membeli beberapa penganan khas yang jarang saya temui di toko-toko bakery. Lemper daging ayam, kue soes saus putih dan cakwe. Juga kue selai nanas berbentuk hati.

”Untung barang saya (kue kering, maksudnya) belum masuk semua,” katanya. Seperti pedagang lain di Sentral, A Heng berharap besar pada bulan puasa yang tinggal sebulan lagi. ”Tapi pedagang lain ada yang sudah memenuhi rak kiosnya dengan barang.”

”Anak saya masih kuliah dua tahun lagi…,” A Heng menyinggung soal anaknya. Mungkin dia memikirkan kelanjutan pendidikan anak-anaknya usai kebakaran yang menghanguskan tempat mata pencahariannya ini. ”Yah, tapi mau di apa… peristiwa ini kembali merubah nasib para pedagang di pasar itu. Tahun 91 saya juga melihat pasar ini terbakar. Ada yang kembali berjualan dan sukses. Tapi ada juga yang sampai hari ini tidak bisa bangkit kembali…” []

 

 Cerita ini adalah buah tulisan dari seorang warga kota Makasar- Merlin Herlina- untuk mengenang sebuah pasar yang dulu sangat terkenal di kota Makassar.

 

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (178 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar