Pecha Kucha Night; Dari Barang Bekas, Reklamasi Hingga Pasar Tradisional

Minggu 2 Juni, gelaran Pecha Kucha Night Volume 2 digelar di Kampung Buku. Kali ini ada 12 orang yang membawakan presentasi seputar ide, gerakan atau kegiatan mereka. Berikut ini ada cerita dari seorang peserta acara Pecha Kucha Night Volume 2.

Pecha Kucha Night Makassar Volume 2

Namanya Muhammad Cora, kami biasa memanggilnya dengan nama Cora. Saya mengenalnya sebagai arsitek yang idealis. Kami sering bertukar cerita, diskusi, berdebat dan tentu saja bercanda. Malam itu lelaki yang sering tampil kucel dengan pakaian apa adanya itu membuka Pecha Kucha Night volume 2 di Makassar.

Cora dengan logat campuran Jawa dan Makassar serta huruf R yang cadel bercerita tentang bagaimana dia memanfaatkan banyak barang bekas untuk memenuhi rumah dan bengkelnya. Cerita dan presentasinya yang berisi 20 slide sesuai aturan dari Pecha Kucha mengundang reaksi spontan dari beberapa orang di sekitar saya. “Wah, keren” Kata seorang gadis berjilbab di sebelah kanan saya. Meski ada kemungkinan dia mengeluarkan kata itu untuk Cora tapi saya yakin dia mengomentari foto bangunan dengan bahan bekas yang dipresentasikan Cora.

Presentasi Cora hanya awal. Ibarat teras, dia sudah cukup menarik bagi para tamu untuk menilik lebih dalam isi rumah yang malam itu diberi nama “Pecha Kucha Night Volume 2”. Setelah Cora berderet-deret hadir individu lain yang bercerita tentang ide, gagasan, cerita dan kegiatan mereka.

Adalah Kamaruddin Azis yang pertama menghentak dengan sebuah sindiran tajam terhadap nafsu penguasa kota yang terus menimbun pantai. Bagi lelaki yang akrab disapa Daeng Nuntung ini, kegilaan para penguasa menimbun pantai adalah sebuah usaha untuk menimbun sejarah dan menjauhkan warga dari kotanya sendiri. Pantai yang harusnya bisa dinikmati orang banyak hanya akan menjadi pantai milik segelintir orang, orang yang punya kuasa dan modal. Menimbun pantai berarti menimbun rasa kemanusiaan dan perlahan menyuburkan kapitalisme.

Muh Cora Ketika Membawakan Presentasinya

Tapi bintang malam itu adalah Luna Vidya. Wanita kelahiran Papua ini sudah sangat menguasai panggung, terbiasa dengan monolog dan tentu saja menguasai penonton bukan hal sulit baginya. Dengan suara menggelegar dan deretan kata yang teratur dia menyentil kita semua. Luna Vidya menyadarkan kita bahwa nyaris (atau mungkin tidak ada) satupun dari orang-orang yang memasang foto wajahnya di sekujur kota ini yang sebenarnya punya akar ke masyarakat. Mereka hanya orang-orang yang ingin dikenal tanpa berniat mengenal kota ini.

Luna merasa dia punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi seorang walikota. Dia punya KTP Makassar, dia membayar pajak, dia pernah merasakan susahnya memasukkan anak ke sekolah negeri karena enggan menyogok, dia merasakan susahnya membayar tagihan listrik dan dia merasakan banyak hal yang dirasakan oleh rakyat kecil. Tapi dia tidak mau dipilih jadi walikota karena dia tidak punya uang untuk membayar semua biaya menjadi walikota. Sebuah sindiran yang pedas dan dibawakan dengan gaya berapi-api. Tak pelak, Luna yang mengaku memang banci panggung benar-benar menguasai panggung Pecha Kucha malam itu.

Meski Luna adalah bintang, tapi yang lain juga berhak mendapat gelar bintang. Total ada 12 orang yang mempresentasikan ide, karya dan cerita mereka. Tidak ada satupun yang sia-sia. Mereka semua adalah orang-orang yang buat saya sudah satu langkah di depan. Ketika orang-orang sibuk dengan diri sendiri, mereka sudah mulai berpikir tentang lingkungan mereka, tentang orang-orang lain dan tentang apa saja di luar mereka.

Dan bukankah hidup memang seperti itu? Manusia adalah mahluk sosial, tak bisa hidup tanpa orang lain dan tanpa lingkungan sekitar. Hanya soal pilihan ketika kita merasa cukup dengan diri sendiri dan membiarkan orang lain dan lingkungan sekitar hidup dengan jalan sendiri. Hanya soal pilihan ketika kita merasa perlu untuk bekerja bersama orang lain dan mengembalikan apa yang sudah kita ambil dari sekitar kita.

Sepanjang malam tadi saya melihat satu benang merah yang menghubungkan hampir semua mereka yang berdiri di depan. Ruang publik! Ada kegalauan melihat ruang publik yang dirampas penguasa, ada ide memanfaatkan ruang publik dan ada terobosan untuk merebut kembali ruang publik. Suatu kota punya banyak elemen di dalamnya, salah satunya adalah ruang publik yang bisa diakses siapa sapa tanpa harus mengeluarkan biaya. Kota ini nampaknya mulai kehilangan itu, kehilangan ruang publik yang sejatinya adalah ruang tempat manusia memanusiakan manusia lain. Tempat manusia kembali memenuhi syarat dasar sebagai manusia, sebagai mahluk sosial.

Disengaja atau tidak, orang-orang yang berdiri di depan kami semua malam tadi adalah orang-orang yang percaya kalau ruang publik itu harus direbut kembali. Mereka mengungkapkannya dalam berbagai medium. Dari barang bekas, reklamasi pantai, majalah terbitan sendiri, rumah hijau, pasar tradisional, musik indie bahkan hingga ke film dokumenter.

Pecha Kucha Night Volume 2 Makassar menyadarkan saya ternyata masih ada warga yang kuatir pada ruang publik yang makin menyempit. Tergantikan oleh ruang komersil yang semakin menggurita karena diberi suplemen berupa nafsu akan uang dan modal.

Semoga tidak makin menyempitkan ide di kepala kita tentang kota yang seharusnya bisa berguna bagi orang lain.

 

Bagikan Tulisan Ini:

iPul Gassing (7 Posts)

Blogger pada DaengGassing.com | senang mencatat dinamika kota | sedang belajar menulis yang baik dan benar | berkicau aktif di twitter | Penggemar buta Pearl Jam | senang menggambar dan mencorat-coret | sesekali motret


Tags: Pecha Kucha Night

Tinggalkan Komentar