Pedagang Kecil dalam Kebijakan Ekonomi Kita (I)

Pada awal tahun 2012, Media Ekonomi Unhas menggelar diskusi publik bertajuk “Dampak Pasar Modern terhadap Masyarakat Makassar”, menghadirkan Idrus Taba (dosen Fakultas Ekonomi Unhas), Nawir (aktivis konsorsium masyarakat miskin kota), dan Ishak Salim (peneliti dari AcSI [Active Society Institute]).

Tujuan membincangkan ini dengan merujuk pada fenomena menjamurnya minimarket (seperti Alfamart, Indomaret, dll) di Makassar dan kota lain di Sulawesi Selatan. Pasar sejenis telah menjangkau sampai ke pelosok permukiman kota. Berikut ini merupakan hasil penyarian yang dilakukan Tim Media Ekonomi Unhas, yang dimuat bersambung.

Gambaran alur distribusi barang sampai ke konsumen. (Dokumentasi: AcSI)

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Perwakilan Daerah Makassar mencatat ada 166 outlet minimarket yang berdiri di Makassar, Gowa, Maros, Pangkep, dan Parepare. Ke-166 outlet itu secara rinci: Alfamart 67 outlet (66 di Makassar dan 1 di Gowa); Alfamidi 33 outlet, Alfa Ekspres 27 outlet, dan Indomaret 39 outlet di Makassar dan Gowa.

Catatan KPPU ini seperti ingin membuktikan setiap perusahaan sedang mengalami fase bernama metamorfosis genetika—fenomena ketika perusahaan besar memecah dirinya ke bentuk yang lebih kecil untuk melakukan penetrasi pasar.

Berdasarkan survei KPPU, tercatat omzet gadde-gadde [Mks: usaha kelontongan] yang berdekatan dengan minimarket menurun hingga 85 persen (bandingkan dengan survei AcSI dalam berita ini). Hal ini jelas memperlihatkan pengaruh minimarket yang cenderung ekspansif; malah perlahan mematikan toko-toko kelontong sekitarnya. Warga bahkan mendatangi langsung salah satu minimarket di Perumahan Hartaco Indah. Mereka meminta agar ditutup.

Dosen Fakultas Ekonomi Unhas, Idrus Taba melontarkan pertanyaan kunci: apakah fenomena metamorfosis genetika pasar modern yang mengancam sektor ekonomi kecil menjadi sesuatu yang patut dipersoalkan atau ini semata merupakan fenomena ekonomi modern saat ini?

Menurut Idrus, pertanyaan di atas dapat terjawab ketika kita dapat melihat lebih dalam sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia. Sistem ekonomi menjadi penting dibicarakan karena inilah yang menentukan arah kebijakan ekonomi suatu negara.

“Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah bagaimana pemanfaatan sumber daya dalam negara tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan sumber daya ini yaitu apa yang harus diproduksi, bagaimana distribusinya, dan apa yang harus dikonsumsi,” papar lelaki yang akrab disapa Pak Idrus ini.

Ia lalu memberi gambaran tentang sistem ekonomi dengan mencontohkan: seratus juta untuk tiga negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Negara A memanfaatkan uang tadi dengan membagi habis seluruh uang tersebut kepada seluruh rakyatnya. Dengan sistem ekonomi seperti ini diharapkan seluruh rakyat dapat memiliki daya beli yang tinggi sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Negara B membagi uang seratus juta kepada lima pengusaha dalam ‘memutar uang’ sehingga pengembalian atas investasi (return on investment) dapat meningkat dari sebelumnya. Inilah yang biasa disebut dengan “pertumbuhan ekonomi”. Efek dari model ini adalah rakyat lain hanya menikmati sedikit tumpahan-tumpahan hasil peningkatan pertumbuhan ekonomi (trickledown effect). Untuk memudahkan kelima orang ini memaksimalkan keuntungannya, pemerintah diharapkan tidak menganggu mereka. Biarlah mekanisme pasar yang menentukan keberhasilan mereka.

Negara C memanfaatkan uang seratus juta dengan membaginya proporsional. Negara mengklasifikasikan terlebih dahulu rakyat yang akan menjadi sasaran pemanfaatan uang tersebut. Untuk rakyat yang sama sekali tidak mampu melakukan kegiatan ekonomis (karena memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari), maka rakyat seperti ini hanya dibantu memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Uang tadi dimaksimalkan untuk membantu orang-orang yang tak bermodal namun berpotensi melakukan kegiatan ekonomi.

Dengan mengacu pada analogi di atas itu berarti: Negara A biasa disebut sistem ekonomi sosialis, Negara B sistem ekonomi kapitalis, dan Negara C disebut dengan sistem ekonomi campuran.

Dalam tipe negara apa Indonesia harus kita letakkan? Idrus, tanpa ragu, menyimpulkan, sistem ekonomi Indonesia adalah kapitalis, karena lebih mementingkan beberapa orang kuat (investor) dibanding pemerataan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Dari penjelasan tadi dapat disimpulkan: bukan minimarket yang menjadi titik tolak permasalahan dalam kasus ini karena logika dasar sebuah usaha jelas mencari keuntungan sebesar-besarnya. Minimarket hanya menjalankan strategi bisnis dengan memecah diri menjadi lebih kecil dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. Namun ini terjadi karena sistem ekonomi Indonesia memberi keleluasaan investor untuk menguasai pasar semaksimal mungkin di Indonesia.

Lebih rinci, Idrus Taba memaparkan bahwa untuk konteks Makassar, pemerintah menitikberatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak yang didapatkan dari para investor. Pada lain sisi yang kita ketahui, bahwa sebagian besar pedagang-pedagang kelontong tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah dalam bentuk pajak. Karena mengharapkan pajak untuk menambah PAD, maka pemberian kredit lebih banyak dinikmati oleh para investor ketimbang pedagang-pedagang kecil.

Penjelasan ini semakin menegaskan keberpihakan pemerintah kepada para investor termasuk minimarket-minimarket yang ada di Makassar. Namun ketika melihat lebih dalam, sebenarnya potensi terbesar dalam perekonomian kita ada pada sektor-sektor yang lebih mikro seperti pedagang-pedagang lokal.

Idrus mencontohkan, ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, sektor mikro seperti tidak merasakan apa-apa. Selain itu, kekuatan para pedagang-pedagang lokal kita juga tidak bisa dianggap remeh. Orang-orang yang datang dan membuka usaha di Pulau Kalimantan dan Papua sebagian besar berasal dari Sulawesi. Maka dengan segala kelebihan dan potensi pembangunan sektor mikro, pemerintah harus betul-betul dipaksa untuk memperlihatkan keberpihakannya kepada sektor mikro yang dijalankan oleh kekuatan-kekuatan lokal Makassar.

Inilah yang menurutnya menjadi awal permasalahan dari diskusi ini. “Sejauh ini sudah sampai mana peran pemerintah dalam menggerakkan kekuatan-kekuatan lokal untuk memperkuat perekonomian daerah?” tanyanya. (Bersambung)

Bagikan Tulisan Ini:

Comments

Leave a Reply