Sebuah sore di Makassar, sejumlah anak muda berkumpul di Cafe Rally. Satu persatu mereka berdatangan ke kafe yang berdampingan dengan Ramayana Department Store ini. Hari itu tanggal 29 Agustus 2012, mereka yang umumnya perokok, hadir untuk membincangkan sebuah wacana yang sedang hangat, Rancangan Peraturan Pemerintah Anti Tembakau.
Pelaksana diskusi itu adalah Komunitas Kretek Makassar. Komunitas ini sudah berdiri sejak dua tahun lalu, seiring semakin gencarnya kampanye anti rokok di Indonesia. Komunitas ini bukanlah bagian dari kampanye anti-rokok, para penggiatnya justru mengusung pemikiran yang berbeda.
Aktivitas komunitas sejauh ini cukup beragam, yakni mendampingi aksi unjuk rasa serikat petani tembakau dan buruh rokok, negosiasi dan advokasi kebijakan, hingga penyebaran informasi melalui media sosial online. Komunitas ini sedang mengusung wacana tanding melawan rezim kesehatan yang sejauh ini sudah menjadi wacana arus utama. Bagi mereka, banyak hal yang perlu dipertegas terlebih dahulu mengenai kampanye ini. Bukan saja hubungan antara merokok dan kesehatan tubuh. Tapi merembet jauh pada aspek ekonomi-politik, seperti kedaulatan ekonomi bangsa.
Diskusi dibuka oleh moderator, lalu dilanjutkan oleh Accang Santiago, seorang penggiat komunitas kretek untuk wilayah Makassar yang memaparkan muatan RPP Anti Tembakau itu dan dampaknya terhadap perokok. Presentasi Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unhas angkatan 2010 ini diawali dengan latar belakang hadirnya RPP ini. Menurutnya, hadirnya RPP Tembakau merupakan kemenangan wacana arus utama rezim kesehatan yang menganggap bahwa tembakau sebagai bahan baku rokok yang dikonsumsi publik terkandung Tar dan Nikotin yang merupakan zat adiktif bersifat karsinogenik di mana terdapat lebih dari 4000 zat kimia beracun.
Diskusi RPP Anti Tembakau di Makassar
Untuk itu, segala bentuk kampanye yang mengajak orang untuk mengonsumsinya—khususnya di kalangan anak-anak dan remaja—dianggap oleh pemerintah dan pihak anti rokok sebagai sesuatu yang berbahaya bagi generasi pelanjut bangsa.
Segala upaya pun ditempuh oleh para penentang rokok untuk membatasi distribusinya. Salah satu yang sudah berhasil mereka lakukan adalah pencantuman peringatan kepada konsumen rokok pada setiap kemasan rokok berupa kalimat yang berbunyi: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Menurut Accang, yang bertanggung jawab memantau media lokal baik cetak maupun online dalam pemberitaan tembakau, keberhasilan itu kemudian lebih diupayakan lagi melalui skema regulasi negara yakni menuangkan segala bentuk pengendalian (atau larangan) tembakau ke batang tubuhnya. Lalu, lahirlah RPP yang kontroversial ini.
Beberapa pasal dalam RPP itupun diurai oleh Accang, paparan koordinator Divisi Media Komunitas Kretek Makassar ini, pemerintah memang mengambil peran penting menjaga kesehatan warganya. Namun, di satu sisi, tidak cukup adil jika terdapat pihak yang berusaha mengatur hidup pihak lain tanpa pihak lain itu didengarkan pendapatnya. Misalnya, pemerintah menerapkan sejumlah kalimat peringatan dalam setiap bungkus rokok. Bahkan bukan sekadar dalam bentuk kalimat, lebih jauh pemerintah menuntut ada gambar yang bermakna menakut-nakuti perokok atas dampak kesehatan pada tubuh saat para perokok mengkonsumsinya.
Tak cukup dua bentuk peringatan itu, pemerintah masih menambahkan agar pada sisi samping lainnya dalam bungkus rokok itu perlu mencantumkan kata: “tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia serta lebih dari 43 zat penyebab kanker” serta larangan bagi perusahaan rokok menggunakan istilah Light, Ultra Light, Mild, Extra Mild, Low Tar, Slim, Special, Full Power, Premium yang betujuan menggoda konsumen membelinya (pasal 22).
Tentu saja pelarangan ini ditujukan pemerintah kepada perusahaan rokok. Namun, bagi Accang penempatan aneka peringatan seperti itu berdampak pada stigmatisasi bagi perokok. Perokok akan dicap pesakitan dan tak peduli pada dirinya sendiri. Jadi kalimat peringatan itu jelas merugikan perokok.
Mengutip berita di harian online metro tv news yang menyebutkan bahwa “Pengadilan di Washington, baru-baru ini, memutuskan: pemerintah AS tak bisa memaksa perusahaan tembakau mencantumkan tulisan peringatan kesehatan dengan ukuran besar di bungkus rokok”. Alasannya bahwa peringatan yang berdasarkan informasi dari Badan Pengawas obat dan Makanan AS (FDA) itu tidak faktual dan karena sifatnya advokasi maka pernyataan peringatan dalam setiap kemasan rokok adalah melanggar kebebasan berpendapat di AS (baca di sini).
Tentu saja, contoh dari Amerika Serikat ini patut dinilai sebagai kemajuan sebuah negara dalam memberikan kebebasan warganya dalam berpendapat dan dalam memeroleh informasi yang benar.
Lebih lanjut Accang juga memaparkan aturan lain dalam RPP ini. Misalnya pada pasal 46 yang berbunyi “setiap orang dilarang menyuruh anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun untuk menjual, membeli atau mengonsumsi produk tembakau”. Pasal ini jelas akan menimbulkan kebingungan bagi perokok dalam level rumah tangga. Misalnya, apabila ada seorang bapak atau ibu meminta anaknya yang berusia 17 tahun membelikan rokok. Orang tua ini dilarang oleh negara dan melakukannya berarti melanggar aturan. Itu urusan membeli, bagaimana jika kejadian lain di sebuah pasar lokal di mana banyak anak yang sudah berkontribusi dalam proses jual beli di toko orang tuanya atau bahkan miliknya sendiri. Apakah kemudian orang tua bersalah karena anaknya berjualan rokok?
Zainal Siko, pengorganisir pedagang pasar lokal mengamini kekhawatiran Accang. Di rumahnya ia memang tidak menyuruh anak-anaknya membelikan rokok di warung terdekat karena anaknya sulungnya baru berumur 6 tahun. Ia bahkan tak pernah meminta anak-anaknya mengambilkan rokoknya di rumah, ia selalu mencarinya sendiri. Walau begitu ia tak sepakat dengan aturan ini. “Saya tahu batas-batas memperlakukan anak-anak saya dalam rumah dan negara tak perlu mengatur kami.” Demikian ia berargumentasi dalam sesi tanya jawab.
Mengenai kebutuhan warga memeroleh informasi yang memadai mengenai rokok, Selvy Syarif punya cerita. Pada awalnya ia percaya dengan informasi-informasi yang dikeluarkan kalangan anti-tembakau. Ia bahkan menunjukkan sikapnya secara terang-terangan kepada teman-teman di sekitarnya yang merokok dan asap rokok mereka bisa mengganggu kesehatannya. Namun setelah memeroleh informasi yang berbeda seperti dari kalangan komunitas kretek dan media lain di dunia maya, dari berbagai pihak dengan pendapat dan argumentasinya masing-masing, kini ia mulai menyadari bahwa asap rokok sebenarnya tak berdampak pada dirinya. Pikirannya pun menjadi lebih terbuka dan lebih jernih dibandingkan saat ia belum memeroleh informasi tanding dari media lain. “Tapi hingga kini saya tak merokok.” Sambil tersenyum ia menutup pendapatnya.
Koordinator Komunitas Kretek Wilayah Makassar, Ishak Salim turut berpendapat. Menurutnya, aturan pelarangan setiap orang menyuruh anak membeli rokok, mengonsumsi rokok dan menjual rokok adalah menunjukkan kebodohan penyusun aturan ini. Dalam RPP itu, pelarangan terhadap setiap orang melakukan tiga hal di atas tak satupun mengatur sanksi. “Jadi bila ada orang sebagaimana dimaksud dalam pasal itu, melanggar ketentuan dimaksud, apa sanksinya? Tidak ada!” ungkap Ishak.
Lebih lanjut Ishak mengajukan pertanyaan, “Lagi pula, siapa yang akan mengawasi orang-orang ini? Siapa yang akan menegur orang-orang ini?” Ishak Salim lebih jauh menganalisa bawhwa RPP ini bisa memunculkan konflik antar warga. Mengapa? Karena dalam rancangan regulasi ini, pemerintah memberi peluang kepada warga untuk berpartisipasi. “Dalam akal sehat saja, partisipasi paling rendah levelnya adalah menegur pihak pelanggar, sesuatu yang tak mudah dipraktikkan di Makassar ini.” Tutur lulusan Belanda ini.
Di Makassar, orang tak bisa serta merta menegur pihak lain apalagi yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya—kecuali sudah dekat dan akrab. Jelas bagi Ishak, rancangan regulasi semacam ini jangan sampai disahkan oleh presiden tanpa meninjaunya secara teliti dengan menanggalkan pasal-pasal yang membingungkan dan merugikan sebagian warga negara lain.
logo Komunitas Kretek Makassar
Adzan Magrib berkumandang dari masjid di kejauhan. Diskusi yang diikuti 20 partisipan yang umumnya perokok ini berakhir. Pemandu diskusi menyampaikan rencana diskusi selanjutnya pada bulan September. Namun, sebelum itu, Komunitas Kretek Makassar akan melakukan survei online yang tujuannya sama dengan diskusi ini, yakni ingin mengetahui bagaimana respon atau opini perokok Makassar mengenai rancangan peraturan pemerintah mengenai tembakau ini. Jangkauannya tentu lebih luas dari diskusi ini.[]