Dalam kunjungan Yoshi Krisna Mukti dan Mba Heli ke Makassar, Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar menyempatkan diskusi tentang arsitektur di Kampung Buku 30 Oktober 2012 lalu. Sebagai praktisi dan periset, Yoshi membahas arsitektur yang tampak di Kota Makassar, sekaligus menggulirkan wacana dan kritik solutif bagi kota ini.
Menyentuh sejarah ruang belum begitu akrab dalam kaitannya mewujudkan ruang berarsitektur di Makassar. Hadirnya bangunan yang ‘kering’ semakin marak dan menjamur di setiap sudut.
Contoh tentang ini mulai dari: bangunan rumah hunian bergaya kotak-kotak minimalis (dengan harga yang maksimalis) berakibat kian surut dan susahnya mencari bangunan yang beridentitas lokal; pembangunan pasar-pasar berkonsep serba rapi, ‘tidak becek’, dan sejuk tidak mewakili kegiatan jual beli yang sudah membudaya; perumahan megah yang menawarkan ‘keamanan’ tingkat tinggi namun terasing dari interaksi sosial; dan penanganan kawasan yang dianggap bermasalah seperti kawasan pesisir/kampung nelayan tanpa memperhatikan aspek pengguna bangunan yang seharusnya dikaji dengan menyeluruh—baik yang telah maupun yang akan terjadi.
Semua itu terjadi demi slogan “Makassar menuju kota dunia”—yang memungkinkan pemerintah lebih merestui hadirnya desain ikonik dengan maksud agar setara dengan kota dunia lainnya. Kemunculan wujud desain di kota ini harus hadir tanpa interupsi dan serta-merta—meski sejatinya sebagian besar warga tidak butuh itu. Padahal, penelusuran siapa pengguna ruang itu penting dilakukan—hal yang kerap diabaikan oleh perencana. Ruang sebagai wadah diperlakukan kaku. Apakah tidak ada cara lain untuk bertoleransi dengan calon pemakainya?
Karena itu, Heli mengajak para hadirin untuk rehat sejenak dari keadaan megalomaniak ini. “Kita perlu memahami ruang-ruang sekitar kita yang sangat dinamis dengan segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia,” kata Heli.
Yosi menambahkan, keberadaan ruang yang tercipta merupakan sebuah jaringan yang sangat kompleks dan saling terkait, saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Arsitek dari Yogyakarta ini mengatakan, dibutuhkan proses pemahaman menyeluruh dan tidak terburu-buru untuk serta merta menghadirkan bangunan yang sekiranya adalah solusi dari permasalan ruang tersebut tanpa ada riset terhadap siapa, apa, bagaimana adanya ruang itu.
“Mengenali sejarah ruang yang ada akan membuka pintu-pintu pemahaman siapa saja yang berada pada ruang tersebut—dengan segala aktivitasnya yang berkontribusi menciptakan karakter ruang bahkan bergantung hidup pada adanya ruang tersebut. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa akan sangat terkait dengan ruang-ruang yang lain dalam skala yang lebih luas (kota),” jelas Yoshi.
Dengan begitu, tambah Yoshi, pada akhirnya, pengenalan ruang secara luas tidak terlalu membuat para perancang terus-terusan memikirkan wujud arsitektur yang mengurusi penampilan yang indah (fasade), molek, dan sedap dipandang mata yang sangat sering dilakukan pada proses awal.
“Dengan pendekatan lain–mengenal sejarah ruang, kehadiran sosok karya arsitektur tersebut lebih mampu memetakan proses hidup yang ada dalam ruang itu dan bisa berjabat dengan baik serta bijak pada tiap elemennya. Dan pada akhirnya penampilan bangunan itu mengikuti dengan sendirinya dari pola dan proses yang terus berubah dengan sendirinya,” jelas lelaki berambut ikal ini.
Sayangnya, proses pengajaran ilmu arsitektur tidak memasukkan bagian ini. Kendati Yoshi menyebut bahwa ilmu perkotaan sudah mulai mengembangkan dan menggunakan metode seperti ini, namun penting tetap mencari sendiri dan tidak bisa mengandalkan pihak akademisi ataupun majalah-majalah arsitektur.
“Arsitektur merupakan pengetahuan awal yang seharusnya mampu berkolaborasi dengan pengetahuan lain. Tujuannya menggali pengetahuan berdasarkan informasi calon penghuni ataupun pengguna terkait kebutuhan dan imajinasi mereka, serta merangkul jaringan yang begitu kompleks. Dengan begitu, ilmu arsitektur tidak menjadi ilmu heroik. Usaha ini bisa dilakukan dalam dalam skala mikro maupun makro, dan sangat mampu menciptakan jaringan yang sangat kuat, sehingga ruang yang tercipta merupakan sebuah kesepakatan siklus kehidupan yang diruangkan,” papar Yoshi.
Apakah arsitektur membentuk perilaku atau sebaliknya? Menurut Yoshi, tidak perlu berkutat dan mempermasalahkan hal tersebut. Namun lebih penting untuk memahami jejak-jejak interaksi antara ruang dan kegiatan. Desain yang bagus bukan karena slogan seperti segala yang berhubungan dengqan ‘green’, kontemporer, atau menggunakan bahan lokal yang diusung oleh bangunan tersebut.
“Lebih penting misi ruang yang sangat ‘lentur’ untuk mampu mengikuti perkembangan aktivitas yang diwadahinya,” lanjut Yoshi.
Saya setuju apa yang disampaikan Yoshi, arsitektur menjadi sebuah pendekatan proses desain untuk meniti kembali jejak ruang dan manusia yang utuh. Arsitektur yang baik selalu berusaha untuk memanusiakan manusia sebaik-baiknya.[]
(Muhammad Cora, @muchcora, penggiat Arkom Makassar)