Tulisan ini bagian II kumpulan cerita dari berkali-kali menyambangi Warung Kopi Dottoro di Jalan Tinumbu, Makassar. Warkop di bangunan berlantai tiga ini didirikan oleh Daeng Naba tahun 1971. Daeng Naba memutuskan melanjutkan usaha pamannya setelah sejak berusia 12 tahun belajar menjadi pelayan hingga peracik kopi di warkop tersebut. Mulanya warkop ini menempati salah satu sudut bangunan di Jalan Tinumbu, yang dulunya bekas gudang. Kawasan ini memang dikenal sebagai salah satu kawasan pergudangan di Makassar pada dekade 70-an.
Lalu tibalah kelompok yang utama di warung kopi ini.Aku menyebut ‘kelompok utama’ sebab merekalah pengisi waktu terlama di warkop ini. Ibarat babakan drama, maka setelah prolog singkat, maka inilah babak utama yang panjang. Merekalah para Perantara atau Makelar. Atau aku, beberapa waktu kemudian, lebih suka menyebut mereka sebagai Si Pembawa Harapan, meski untuk hal yang mustahil. Mereka selalu datang dengan semangat penuh dan senyum yang terkembang. Suara mereka selalu optimis dan penuh sugesti. Lidah mereka penuh puji dan janji.
Salah seorang pedagang yang sering beristirahat di warkop di kawasan Pasar Cidu. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Cara mereka meminta kopi lebih tergesa dibanding kelompok pegawai. Seolah mereka berkejaran dengan waktu yang lebih pendek dari orang lain. Kelompok ini selalu memesan kopi susu ‘tebal’. Begitu kopi pesanan tiba, mereka hanya akan menyeruputnya sedikit, tampak sekadar merasakan panas kopi menggigit lidah mereka. Setelahnya mereka akan menyulut rokok lalu mulai berbincang sesama mereka.
Dibanding kelompok sebelumnya, sebenarnya mereka sangat cair. Dengan mudah mereka membaur ke meja siapa pun, kendati orang yang semeja dengan mereka tak mereka kenal sebelumnya. Dengan mudah percakapan segera mengalir. Kopi susu di depan mereka masih penuh dan mengepul harum. Suara mereka menggebu membincangkan proyek ataupun rencana bisnis jutaan yang akan mereka garap. Ada tanah seluas berhektar-hektar yang akan dibeli oleh pengusaha dari luar negeri karena akan dibangun pabrik pengolahan sesuatu yang entah apa. Atau proyek pemerintah yang bernilai ratusan juta. Dan yang paling hangat dan menggoda, adalah perburuan barang antik, seperti emas Soekarno yang mereka anggap masih berdiam di suatu tempat menunggu tangan-tangan yang terampil dan beruntung menemukannya. Perburuan dollar brazil (yang terakhir kukenali sebagai cruseiros dan dinyatakan tidak berlaku lagi) yang jika diuangkan kabarnya bisa mencapai miliaran rupiah. Cara mereka bercerita begitu meyakinkan, seolah mereka telah menerima titah dari Presiden Soekarno untuk mencairkan Dana Revolusi. Janji terus mengalir membuai mereka yang tidak waspada. Matahari mulai tinggi tak ada lagi kesan tergesa yang awalnya mereka bawa ketika datang. Kopi di depan mereka mulai dingin dan tinggal separuh.
Hari beranjak siang, obrolan mereka akan bergeser ke hal yang lebih sederhana. Biasanya mereka akan saling menunjukkan jam tangan atau arloji yang mereka pakai. Jika salah satu menunjukkan arloji yang mereka pakai, menyebut harga dan keunggulan merk, lainnya hanya mengangguk mengiyakan. Begitu pun sebaliknya. Meski kelihatannya mereka saling meragukan keaslian dan kejujuran rekan semeja mereka, tetapi siapa peduli kejujuran di meja warung kopi?
Setelah arloji, ada yang menunjukkan cincin akik di tangan mereka. Ada banyak jenis batu yang melekat di cincin perak atau cincin dari besi putih yang mereka pakai, permata mata kucing dari pedalaman Kalimantan, batu rubi, sampai batu safir dengan alur menyerupai tembaga. Konon garis yang berwarna tembaga yang melekat di batu safir mereka, bisa terus tumbuh dan membentuk pola-pola yang begitu aneh tetapi disebut indah. Dan tiap pola, bagi penyuka batu ini, dipercaya memberi keberuntungan tersendiri. Ada yang bisa memberi manfaat keberuntungan dalam berdagang, sebagai pengasih, sebagai penjaga dalam perjalanan, bahkan pemberi keselamatan dalam setiap usaha.
Namun di waktu lain, jika ada lagi batu permata lain diceritakan pemiliknya, mereka yang saling kenal ataupun hanya kebetulan berada di meja yang sama, turut merubung meneliti batu dari cincin yang diedarkan dari tangan satu ke tangan yang lain. Bahkan ada yang sengaja mengambil kacamata baca dari sakunya untuk mengamati lebih dekat alur motif dari batu yang kehebatannya sedang diceritakan si empunya. Batu-batu yang cantik dan konon kaya manfaat ini tentu saja bisa dijual; meski itu kadang diakui sebagai warisan dari moyang yang telah wafat. Harganya tidak terlalu tinggi. Mereka kadang menyebut harga puluhan ribu, tapi aku tak pernah melihat mereka berjual-beli cincin yang mereka bawa. Meski kadang aku pernah melihat langsung ada orang yang nyaris memakai cincin akik di setiap jari tangan yang dimilikinya, dan tetap saja ia tak kelihatan begitu gembira dan kaya raya. Mungkin cincin itu belum memberi khasiatnya, pikirku. Malah seringkali, setelah menceritakan kisah beberapa cincin yang melekat di jarinya, ia akan selalu berkata pada para penyimaknya ketika pamit, “Tolong bayarkan dulu, ya. Nanti kuganti uangmu!” Mau tak mau, ada saja di antara para penyimak itu yang menyanggupi. Mungkin itulah khasiat cincin yang dipakainya—kusebut dalam hati sebagai “Cincin Pembayar Kopi”.
Di kali lain, obrolan tentang khasiat batu lalu menjurus pada jimat-jimat yang sampai kini tak pernah kusaksikan. Istilah awam di Sulawesi Selatan untuk benda semacam ini adalah Kulau (mustika). Kulau ini ada banyak jenis, karenanya lebih sering sebagai dongeng, yang tak perlu diusut dari mana muasalnya. Ada Kulau Besi yang akan membuat pemakainya kebal senjata tajam, karenanya sering dipakai para pendekar dan jagoan. Kulau Air yang akan menjagamu agar tidak tenggelam di sungai ataupun lautan. Kulau ini dianggap cocok bagi mereka yang suka berlayar. Ada Kulau yang mendinginkan hati yang panas, menjagamu selama merantau. Ada Rantai babi sampai tanduk kucing. Dan yang menakjubkan sekaligus membingungkanku; ada juga mantera untuk mencegah istri atau kekasih berkhianat selama sang suami atau kekasih memburu peruntungan di negeri orang. Namun sungguh aku belum pernah melihat satu pun orang yang memakainya di warung kopi itu meski cerita tentang benda yang menakjubkan itu hampir setiap hari kudengar.
Saat sore hingga petang menjelang kelompok utama terus bergantian mengisi kursi di warung kopi yang terkenal di kawasan utara Kota Makassar.Warung kopi ini seperti halte tempat mereka singgah mengaso setelah jauh berjalan mengais peruntungan sebagai perantara berbagai hal. Segalanya bisa dimulai di meja warkop dengan membincangkan jam tangan kualitas rendah, batu permata dengan segudang kisah, hingga motor bekas ataupun baru titipan dari orang dealer motor yang belakangan juga mulai menjamur di Makassar. Hingga petang obrolan tentang sekian kemungkinan terus mengalir. Hingga jalan di depan warung kopi mulai remang dipeluk malam. Lalu mereka pulang, siap dengan harapan baru keesokan harinya. Setebal Laba, Setipis Rugi.[]
Pingback: Tautan Pekan: Tunanetra di Surabaya, TPA Benowo, Gedung Setan, dsb. :: c2o library & collabtive·