Yang Tumbuh di Jalan Tinumbu

Mari mengenal kawasan lain di Kota Makassar.  Kali ini kita mengunjungi Jalan Tinumbu lewat tulisan dan foto seorang pemuda yang tumbuh dan besar di kawasan ini.

Sekitar 100 meter dari Jalan poros Yos Sudarso, terdapat sebuah pasar tradisional bernama Pasar Cidu. Seperti kebanyakan pasar, para pedagangnya berjualan rempah-rempah, buah-buahan, ikan segar, dan baju-baju baru. Harga baju ini, kalau sudah di luar toko tradisional bisa menjadi sangat mahal.

Warna-warni pagi hari di Pasar Cidu. [Foto: Sofyan Syamsul]

Barangkali dari warga Makassar masih banyak yang belum pernah ke Pasar Tinumbu. Pasar ini, bila Anda masuk dari arah Jalan Yos Sudarso tadi, semakin menyempit bila sampai di ujungnya. Mungkin itu mengapa pasar ini dinamai Pasar Cidu. Itu pula yang saya dengar dari cerita orang sekitar yang telah beranak cucu di pasar ini.

Jalan Tinumbu [Foto: Sofyan Syamsul]

Penjual cakar di salah satu titik di Jalan Tinumbu. [Foto: Sofyan Syamsul]

Salah satu warung kopi di Jalan Tinumbu. [Foto: Sofyan Syamsul]

Panjang pasar ini kurang lebih 500 meter. Untuk ukuran, bisa jadi pasar yang terletak di Kecamatan Bontoala ini pendek. Tapi, kebanyakan orang yang berkunjung ke sana tidak langsung menghentikan perburuan alat-alat kebutuhan mereka ketika telah sampai di ujungnya. Kita bisa melanjutkan perburuan berikut ke Jalan Tinumbu. Pasar Cidu adalah jalan pintas menuju Jalan Tinumbu.

Setiap pagi, banyak pendatang yang menumpahkan dagangan mereka ke pinggir Jalan Tinumbu. Bayangkan saja sebuah pasar tumpah yang begitu tidak teratur menyebabkan kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas. Mungkin untuk bahan di dapur, dagangan yang ada di Jalan Tinumbu dari pagi hingga sore hari tidak seberaneka layaknya di Pasar Cidu. Tapi, bagi yang suka mencari ‘cakar’ kualitas bagus, di sini bisa menjadi salah satu tempat yang saya rekomendasikan.

Masih di Jalan Tinumbu, kita bisa menemukan warung kopi yang berderet dengan masing-masing pelanggan setianya. Seluruhnya adalah warkop semata—tanpa internet gratis—tapi tetap ramai. Warkop-warkop seperti ini menjadi menjadi tempat paguyuban. Tidak ada gadget yang menghalangi percakapan.

Pengunjungnya bervariasi tergantung jam-jamnya. Misal, ketika subuh, yang menjadi pelanggan adalah orang-orang tua yang baru saja pulang dari masjid. Pukul 7-9 pagi adalah para karyawan kantoran dan buruh-buruh angkut. Siang hari di jam istirahat kantor, biasanya para Pegawai kelurahan dan guru-guru sekolah. Masuk sore hari, dikerumuni oleh kalangan anak-anak muda. seperti kebanyakan warung-warung kopi, percakapan biasanya didominasi tentang politik, hasil usaha yang mulai berkembang maupun menurun, juga tentang batu antik yang biasanya ada di cincin para dukun di film-film. Menyenangkan menguping percakapan mereka sesekali.

Pasar malam Tinumbu. [Foto: Sofyan Syamsul]

Menjelang malam hari, tidak serta merta lantas membuat Jalan Tinumbu tertidur. Kita masih bisa lihat pasar malam. Pasar Malam Tinumbu namanya. Mungkin pasar ini diperuntukkan untuk warga sekitar yang baru bisa berbelanja kebutuhan dapurnya karena harus bekerja atau beraktivitas pada pagi hingga sore.

[Sofyan Syamsul, @pepeng__, pewarta foto]

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar