Bunda dan Semangat Maulid Dari Pasar Terong [1]

Bunda dan lapak dagangannya

Tidak afdhol rasanya kalau ke Pasar Terong tanpa ketemu Daeng Nur. Bundanya Pasar Terong. Itu sapaan akrab sekelompok aktivis yang tengah melakukan penelitian dan advokasi di Pasar Terong sejak tahun 2009 dan pedagang-pedagang, khususnya pedagang sektor selatan.

Pertama kali saya bertemu dan berkenalan dengannya di sebuah pasar malam pada tahun 2010 di daerah Borong. Tepat di zona jalan tusuk sate antara wilayah Toddopuli dan Borong Raya, ada sebuah area kosong yang cukup lapang untuk pengadaan pasar sementara. Pasar ini kerap kali dipadukan dengan beberapa permainan hebat, seperti odong-odong, bianglala mini, motor-motoran, dan beberapa permainan sulap konvensional.

Hampir semua permainan itu mirip dengan permainan-permainan yang disediakan oleh salah satu tempat liburan andalan anak-anak di Ibukota; Dufan.

Waktu itu ada beberapa anak yang bermain sembunyi-sembunyi (biasa disebut petak umpet) di antara pagar aman bianglala mini. Kebetulan posisi saya berdiri tidak jauh dari situ. Berniat untuk ikut dalam keseruan mereka, saya pun membuka pembicaraan dengan salah satu dari mereka, “Kayak Dufan di’, dek.” Dengan bingung, dia bertanya, “Apa itu, kak?”

Tidak masalah mereka tahu atau tidak, tapi seperti ada perasaan bersalah menanyakan hal itu. Hampir saja saya membuka ruang baginya untuk melihat kesenangan itu dengan imej dan brand tertentu, menurut saya. Mereka hebat.

“Cucuku itu, Nak!” Tegur Bunda padaku.

Kios Bunda sekitar 3 meter dari bianglala mini di pasar malam itu. Di sana lah kami pertama kali bertemu. Saya dan Bunda dikenalkan oleh dua orang teman, Kak Agung dan Kak Randy, yang cukup aktif dalam kegiatan Advokasi Pedagang Pasar Terong yang disebut SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong).

“Bunda itu pejuangnya Pasar Terong!” jelas Kak Agung.

Dengan bangga, Bunda mengiyakannya. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” tambahnya.

***

DUA PULUH tahun lebih tinggal di Makassar, sebagian besar orang tua di Kota Makassar memang tidak pernah merekomedasikan anak-anaknya untuk mengunjungi Pasar Terong. Padat, kotor, banyak preman, dan macet adalah deskripsi awal yang diterima beberapa remaja Kota Makassar. Saya salah satunya. Mungkin itu salah satu sebab kenapa saya baru tahu dan melihat keadaan di dalam pasar ini.

Salah satunya, daerah yang diapit oleh sisi selatan Gedung Pasar dan jajaran ruko tingkat dua menyerupai huruf “L” (selanjutnya ditulis: ‘Letter L’). Kini, daerah ini kosong melompong. Pedagang sayur dan buah yang dulu menempati daerah ini dipindahkan sementara ke bagian depan gedung Pasar Terong, di pinggir Jalan Terong.

Jenis pedagang bermodal besar seperti pedagang baju, pakaian dalam, tas dan sepatu menempati gedung di dalam pasar. Di antara kios-kios ini, ada satu lapakan tanpa dinding yang penuh dengan dekorasi khas Maulid. Ada bakul ember, tangkai telur, dan rangka rak warna-warni dengan model unik menghiasi lapak kecil ini. Ternyata itu mililk Dg Nur (selanjutnya ditulis: Bunda). Lapakannya terletak di area luar gedung, mengambil tempat di pinggir jalan masuk pintu selatan gedung pasar, sekitar 5 meter dari ujung tangga pintu selatan Pasar Terong.

Bunda memang sosok yang sangat unik dan penuh percaya diri. Dengan setelan kemeja kotak-kotak ala Jokowi dan celana jins pendek selutut, dipadankan dengan syal rajut merah dan sepatu boot hitam, dia menyambutku.

Saya datang dengan seorang kawan yang juga aktif di kegiatan advokasi pasar terong ini, Kak Wandy. Kak Wandy langsung menyalami dan mencium tangan Bunda. Cukup lama. Kemudian menanyakan kabarnya. Sama seperti saya, mereka juga sudah cukup lama tidak bertemu.

Bunda dan setelah a la Jokowi-nya

Kesan pertama melihat Bunda dengan setelan uniknya, langsung terlintas pikiran tentang Pemilihan Gubernur (selanjutnya ditulis Pilgub) Sulawesi Selatan pada 22 Januari 2013 lalu. Kemeja kotak-kotak yang dikenakannya memang ciri khas Jokowi, tapi dalam Pilgub Sulsel 2013 ini, ada salah satu calon yang juga mengenakan kemeja itu sebagai salah satu ciri khasnya; GarudaNa.

“Lewat mi pilgub, Bun!” tegurku sambil menggoda.

“Biar tommi. Nda ada ji hubungannya dengan Pilgub. Kan baju ku ji,” respon Bunda dengan suara lantang andalannya.

Saat kami berkunjung, dia tengah melayani seorang pembeli. Sepertinya pesanan dengan jumlah banyak, karena Bunda sampai pinjam kertas dan pulpen untuk mencatat hal-hal apa yang dibutuhkannya. Ketika orang itu pergi, Bunda pun pamit sebentar. Tanpa ragu dia meninggalkan lapak warna-warninya. Saya sempat mengingatkan, tapi katanya tidak masalah. Semua pedagang lain tahu kalau lapak itu milik Bunda.

Beberapa menit kemudian, dia datang dengan 1 dos penuh ember kecil. Jumlah embernya sekitar 30an. Seperti dugaanku sebelumnya, pembeli tadi ternyata memang memesan bakul Maulid dalam jumlah banyak, tepatnya 50 bakul. Karena jumlah ember yang disediakan Bunda kurang, makanya dia pergi membeli sisanya. Kata Bunda, total pesanan pembeli tadi hampir Rp 1,5 juta dengan harga Rp 30.000 per bakulnya.

Kreativitas Bunda sangat jelas terbukti dari karya-karya dekorasi keperluan Maulid yang dijualnya. Semua barang jualannya dibuat sendiri. Yang dibelinya hanya ember, rotan, lem, dan beberapa kertas hias, seperti kertas minyak, kertas krep, dan kawat-kawat lunak.

Wilayah ‘Letter L’ sektor selatan sedang sepi pedagang. Ada beberapa tukang yang masih bekerja menyelesaikan rangka atapnya. Ada juga beberapa pedagang yang menata barang jualannya dengan memakai terpal plastik sebagai alas. Mereka masih menyebut dirinya pedagang sementara karena memang masih memanfaatkan meja permanen yang dibuat dari susunan batu bata setinggi 50 cm, lebar 50 cm dan panjang sekitar 3 meter.

Sebelulm meja-meja permanen ini dibangun dua bulan lalu, sepanjang sektor selatan gedung pasar ini ramai oleh pedagang buah dan sayur dengan menggunakan meja kayu atau bambu yang mereka siapkan masing-masing. Dua hingga tiga pedagang yang masih tinggal di tempat ini merasa sepi dari pembeli. Tetangga jualan Bunda yang menjual celengan dan beberapa tungku dari tanah liat, misalnya, sudah sangat syukur jika memperoleh Rp.100.000 dalam sehari. Bagi Bunda, kasus seperti ini di Pasar Terong adalah hal biasa. Yang terpenting, sebagai pedagang pasar tidak boleh lengah dan terbuai janji pihak-pihak yang mengaku akan menata. Hal ini lah yang memicu semangat Bunda dan beberapa pedagang tetangga jualannya untuk tetap tinggal dan menjaga tempatnya, meski sepi dan belum layak pakai.

Penataan ruang Pasar Terong, khususnya ‘Letter L’ sektor selatan ini sudah dirombak sejak tahun 2005. Hingga kini, tahun 2013, tempat ini belum juga selesai dan layak pakai. Pengerjaan bangunan yang bertahap selalu menjadi alasan kenapa penataan ini belum selesai. Di sepanjang koridor samping sektor selatan ini terdapat jejeran dua meja permanen yang saling berhadapan dan masih berlapis semen.

Jejeran meja permanen itu berdampingan dengan jejeran ruko (rumah-toko) Pasar Terong di wilayah selatan. Bangunannya masih bentuk bangunan ruko lama dengan pintu yang tersusun dari beberapa papan yang masing-masing papannya dihubungkan dengan engsel-engsel besi. Pintu-pintu kayu itu terlihat cukup lapuk. Permukaan ruko-ruko itu juga terlihat lebih rendah dari jalanan di depannya yang masih berbentuk timbunan tanah. Sangat rawan untuk musim hujan dan angin kencang akhir-akhir ini. Dibandingkan jejeran meja permanen yang permukaannya cukup kering karena sudah berlantaikan paving blok, daerah ruko ini sangat becek dan banyak sampah yang berserakan.

..bersambung ke bagian dua

tulisan ini ditulis oleh Nur Utami Ningsih yang sehari-harinya aktif di AcSI dan komunitas Ininnawa

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar