Bagian kedua tulisan ini memaparkan bagaimana pertalian persaudaraan menjadi segi lain yang menguatkan terjadinya praktik pernikahan usia muda di Pulau Kodingareng.
Warga pulau Kodingareng bersiap mendarat di Makassar (foto: daenggassing.com)
Matahari mulai terasa hangat. Saya menuju kantor kelurahan. Sepi sekali di sana. Hanya ada seorang pegawai yang sedang menulis ketentuan zakat, Musdalifah. Teman-teman kerjanya belum datang. Pak Lurah sedang berada di kota. Hanya ada dua meja yang kosong. Di atasnya ada tumpukan berkas, tak ada komputer di kantor ini. Tak satu pun. Menurut Musdalifah, komputer ada tapi disimpan di rumah salah seorang pegawai. “Kalau siang kan tidak ada listrik, malam pi baru menyala na tidak ada orang di kantor kalau malam. Jadi, ditaroh di rumah baru malam pi juga dipakai isi-isi data,” katanya.
Suara Musdalifah keras, mungkin terdengar hingga di luar kantor. Dia juga tak setuju dengan pernikahan usia belia. Menurut dia, pernikahan usia belia tidak hanya terjadi karena persoalan ekonomi saja. Dia membeberkan angka keluarga miskin yang menurun di sana yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya 641 kepala keluarga lalu turun menjadi 415 KK. Dan pada tahun 2011, turun menjadi 111 dari data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) untuk keluarga miskin.
Di Pulau Kodingareng, tidak hanya keluarga yang terbelit masalah ekonomi yang menikahkan anak-anaknya di usia yang masih belia. Tapi, juga mereka yang hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Hajah Tati misalnya. Ia dan suaminya adalah pedagang. Memiliki beberapa tanah yang tersebar di Pulau Kodingareng. Ia menikahkan anak perempuan satu-satunya pada usia 15 tahun. Sekolah untuk anak perempuannya tidak penting baginya. Dia memiliki kekhawatiran yang sama dengan orang tua yang lain di sana.
“Kalau mau diibaratkan dek, ada itu anggapan di sini kalau lebih berharga itu jaga kerbau daripada jaga anak perempuan. Jadi dikawinkan mi kasian daripada bikin malu di belakang,” kata Musdalifah.
Tapi menurutnya, bagi orang-orang yang tidak setuju dengan pernikahan usia belia tidak bisa berbuat banyak, jika mereka adalah penduduk asli di pulau tersebut. Sikap kekeluargaan menjadi hal utama di sana. Ada perasaan tidak enak jika satu orang tak saling mendukung. Pernikahan usia belia sudah menjadi tradisi di pulau ini. “Para orangtua itu tidak sadar kasian, kalau anaknya mi yang jadi korban. Dikasi’ berenti sekolah. Harus memang ada itu yang sosialisasikan aturan tentang pernikahan. Karena banyak yang tidak paham, jadi curi umur kalau mau kasi’ nikah anaknya.” kata Musdalifah.
BANYAK orang tua mendatangi Abdul Rahman, satu-satunya imam desa dengan mencantumkan usia 20 tahun. Banyak pula yang dinikahkan karena sudah hamil sebelum menikah. Imam desa yang menikahkannya dan mengurus surat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) di Makassar. “Saya tidak pernah menikahkan anak di bawah usia 20 tahun,” katanya.
Rasanya mustahil. Ia adalah satu-satunya imam desa yang selalu menjadi penghulu di pulau kecil ini. Banyak orang di pulau mengakui bahwa ia berbohong. Kami bicara pada malam hari di sebuah kursi bambu di pinggir pantai. Dia tak mau berlama-lama bicara, tamunya sudah menunggu di rumah, katanya.
Kegelisahan Abdul Rahman saat ditanya mengenai pencurian umur terlihat juga di wajah Daeng Tima. Dia telah menikahkan empat anak perempuannya yang masih belia. Dia masih memiliki empat anak perempuan lagi yang belum menikah. Satu di antaranya, baru saja berhenti sekolah saat duduk di kelas dua SMP. Alasannya karena tak memiliki uang. Suaminya bekerja sebagai nelayan yang hanya menggunakan lepa-lepa yakni perahu kecil dengan alat bantu dayung. “Kalau nelayan kecil ji kasian, tidak bisa ki kasi’ makan anak-anak ta’. Kalau ada yang lamar mi, di kasi’ kawin mi saja,” katanya. Kebutuhannya sehari-hari banyak dibantu oleh anak-anaknya yang sudah menikah.
Menurut tetangga-tetangga Daeng Tima, empat anak perempuannya yang sudah dinikahkan berusia rata-rata 12 hingga 15 tahun. Terakhir ia menikahkan Kaya’ di usia 12 tahun. Tapi Daeng Tima mengatakan kepada saya itu tidak benar. Semua anaknya menikah saat usianya sudah di atas 17 tahun. Selviana yang mengantar saya menemui Daeng Tima mengatakan bahwa Kaya lebih muda dari usianya.
“Di sini kak, jangan lihat wajahnya orang. Banyak memang yang sudah kelihatan tua, padahal masih anak-anak. Lihat mi itu sana cewe’,” kata Selvi sambil menunjuk seorang perempuan hamil yang menggunakan lipstik merah menyala dan bedak yang tebal. “Masih 15 tahun itu kak,”
Di pulau Kodingareng, hampir semua orang saling mengenal. Luas pulau hanya 8,9 hektar dengan jumlah penduduk 4.273 jiwa. Semua beragama islam. Jarak pulau dari Kota Makassar 15,05 kilometer dengan jarak tempuh sekitar satu jam dengan menggunakan kapal. Di pulau ini terdapat satu SD, satu SMP dan satu SMU yang baru didirikan tiga tahun yang lalu. Ini adalah sekolah swasta, pemiliknya adalah Kepala Sekolah SMP. Murid-muridnya pun masih menumpang belajar di bangunan SMP.
Tingkat pendidikan warga rendah. Menurut data profil Pulau Kodingareng tahun 2010, angka tamatan SMU atau sederajat hanya 75 orang. 41 laki-laki dan 34 perempuan. Sedangkan lulusan Strata Satu hanya 20 orang. Dari 20 orang tersebut, sudah termasuk mereka yang pendatang dan bekerja di pulau Kodingareng menjadi tenaga medis dan guru.
Sayang sekali, pendidikan belum begitu penting di pulau yang kecil, menyenangkan dan ramah ini. Saya hanya butuh tiga hari untuk mengenal puluhan penduduk di sini. Hingga di setiap saya berjalan, banyak yang menyapa dan meminta saya singgah dan mengunjungi rumah mereka. Ikan segar senantiasa siap menanti. Pantai yang indah menyuguhkan air yang jernih dan pasir putih yang halus. Saya menikmati keindahannya.
Malam hari sebelum saya pulang ke Makassar, saya berjalan mengelilingi setengah pulau. Saya bersama gadis-gadis cantik dan belum menikah. Dua di antaranya berhasil kupengaruhi agar tak menikah muda. Mereka ingin kuliah dan mengambil jurusan Broadcasting. Rasanya tenang. Kami membuat acara perpisahan malam itu dengan membuat siomay. Di tengah acara, seorang gadis mencari saya. Namanya Hadrah, murid kelas tiga SMP di pulau Kodingareng. Kami sudah saling mengenal. Dia adalah Ketua OSIS di sekolahnya. Cantik, kulitnya putih. Saya kaget mendengar ucapannya. Ia akan menikah setelah lebaran nanti. Calon suaminya juga tidak lulus SMP, belum memiliki pekerjaan. Saya membujuknya agar ia menolak. Tapi kemudian sia-sia.
“Ini amanahnya Bapakku sebelum meninggal, Kak. Bapakku sama bapaknya calonku sudah kayak saudara mi jadi na titip suruh jaga ka karena sendiri ja’ bersaudara,” kata Hadrah.
Saya diam dan memikirkan Hadrah, hingga kapal membawa saya menuju Kota Makassar pagi hari.[]
(Satrika Nasmar, @sartikanasmar, bergiat di Komunitas QuiQui, Makassar)