Minimarket: Tsunami Baru di Makassar (II)

Tulisan ini merupakan laporan bagian kedua berkaitan dengan fenomena pertumbuhan minimarket di Makassar. Bagaimana perkembangan ini terhadap gadde-gadde (usaha warungan) di kota kita?

Salah satu gerai Alfa Mart di Makassar. [foto: Sofyan Syamsul]

Sebelum mendirikan usaha gadde-gadde di Jalan Manuruki Kecamatan Tamalate, Ibu Rahayu hanya mengurus rumah tangga dan ketiga anaknya yang sekolah di SD. Rahayu mendirikan gadde-gadde demi menambah pendapatan suaminya, Daeng Ngella, yang bekerja sebagai montir di bengkel miliknya.

Usaha bengkel ini sudah ada sejak 17 tahun lalu. Pelanggan bengkel di pinggir Jalan Mannuruki itu makin tak pasti. Bengkelnya hanya bermodal satu alat penambal ban, beberapa stok ban dalam, dan sejumlah pelumas. Luasnya 2 x 3 meter, hanya sehalaman depan rumahnya. Sebagian halaman lagi menjadi tempat gadde-gadde milik Rahayu, istrinya.

Menurut Rahayu yang ditemui pada Oktober 2011 lalu, ia memulai usaha dengan modal hampir lima juta rupiah. Demi kestabilan omzet penjualan, ia mengambil barang jualan di toko grosir yang harganya lebih rendah dan hanya mengambil barang yang paling sering dicari konsumen, seperti rokok. Melihat kecenderungan konsumen kelas ekonomi lemah, ia memilih menjual rokok batangan. Rahayu juga menjual makanan ringan untuk anak-anak (Makassar: garoppo’) yang juga diminati banyak bocah-bocah di sekitar gadde-gadde itu.

Sang suami, Daeng Ngella (46), mengeluhkan keberadaan beberapa minimarket di kawasan Manuruki. Sejak Alfa Midi, yang cuma dipisahkan sebatang lorong samping rumahnya, pendapatan gadde-gadde istrinya berkurang setiap hari. Sebelumnya, gadde-gadde Rahayu bisa beromzet sampai Rp 200 ribu per hari. Setelah Alfa Midi berdiri, pendapatannya menurun tajam, hingga kurang dari Rp 60 ribu/hari saja. Untunglah, pendapatan bengkelnya  bisa menutupi kekurangan tersebut.

Hal yang ia khawatirkan adalah beberapa bulan ke depan dua gerai Alfamart segera berdiri. Satu di seberang jalan dekat rumahnya, satunya lagi sekira 400 meter dari lokasi gadde-gadde istrinya. Menurut pengakuan Daeng Ngella, bukan cuma dia yang mengeluhkan keberadaan minimarket. Beberapa pa’gadde-gadde di kawasan ini meresahkan hal yang sama. Maklum, minimarket seperti yang akan berdiri di sekitaran rumahnya kerap menerapkan harga lebih rendah dari gadde-gadde. Selain itu, ada kabar bahwa tenaga kerjanya kerap tidak merekrut warga setempat.

Sebulan sebelumnya, Rahayu harus menutup gadde-gadde-nya selama hampir sebulan. Anak keduanya masuk rumah sakit karena kecelakaan. Ia harus menemani si buah hati di rumah sakit. Ketika berjualan lagi, suaminya menambahkan modal dari tabungan pendapatan bengkel. Begitu pula sebaliknya, saat sang suami membutuhkan tambahan pembelian peralatan bengkel, Rahayu merogoh tabungan dari keuntungan gadde-gadde. Baginya, mengelola gadde-gadde memang tidak bisa diandalkan untuk menopang seluruh kebutuhan rumah tangga. Namun, setidaknya, bisa membantu ekonomi keluarganya.

Lain lagi cerita Pak Jono (52), pemilik Toko Batu Hijau, Jalan Poros BTP, Kecamatan Tamalanrea, Makassar. Sebelum memfungsikan rumahnya sebagai toko pada 2007, Pak Jono menjadikan tempatnya sekadar rumah huni sejak 1997. Pada masa-masa awal beroperasi hingga belum maraknya pembangunan minimarket modern, Pak Jono mengaku, omset tokonya mencapai dua juta rupiah setiap hari. Namun saat ini, dalam sehari, omset menurun drastis, hingga kadang tidak lebih dari satu juta rupiah. Selain biaya kebutuhan rumah tangga yang kian meningkat, kesulitan lain Pak Jono adalah menutupi biaya operasional toko. Biaya operasional tokonya per bulan mencapai Rp 600.000. “Tadi malam itu, hanya 700 ribu didapat,” kata pak Jono, Oktober 2011.

Pak Jono sering melihat pelanggan (Makassar: sambalu) melintas di depan tokonya menuju Alfamart, yang berada 50-an meter dari tempatnya. Hal ini diperparah sejak gerai Alfa Midi juga beroperasi. Maklum, bagi warga yang tinggal di Blok C BTP, tepat di belakang Toko Batu Hijau, mereka cenderung berbelanja di Alfa Midi karena posisinya tepat di sudut jalan. Pelanggan Toko Batu Hijau, di antaranya tetangga Pak Jono sendiri, kini juga sudah jarang terlihat. Kecuali ketika barang yang dicari tidak tersedia di mini market tersebut. “Hanya tahan perasaan yang bisa dibikin!” kata Pak Jono.

Fany (42), pemilik ‘Toko Tunggal’, di sisi kanan Alfa Midi, mulai merasakan dampak keberadaan minimarket. Sejak keberadaan Alfa Midi, efek yang paling terasa adalah menurunnya omzet penjualan susu formula.

Menurutnya, konsumen kini lebih memilih membeli di Alfa Midi karena sejumlah tawaran yang menggiurkan, seperti harga promo dengan diskon di bawah harga jual di tokonya.

“Bahkan promo dengan membeli dua bungkus susu formula, konsumen akan mendapatkan satu bungkus secara cuma-cuma. Belum lagi kelengkapan barang, dan fasilitas tempat yang memadai, seperti ruang ber-AC.” Papar Fany.

Fany sudah mulai usaha tokonya sejak tahun 1986, Tapi, kata muallaf keturunan Tionghoa ini, ketika itu masih kecil-kecilan. Toko miliknya juga berada tepat di pinggir Jalan Raya Mannuruki, sejajar dengan usaha gadde-gadde Rahayu. Keduanya hanya dipisahkan oleh gerai Alfa Midi. Menurut Rahayu, Toko Tunggal milik Fany merupakan toko pertama yang terbilang besar di kawasan itu. Toko yang juga dijadikan rumah tinggal ini, terdiri dari dua lantai, ukurannya 8 x 14 meter. Namun di bagian depannya, sebagian lahannya (4 x 4 meter) juga dimanfaatkan sebagai bengkel yang dikelola oleh suaminya, Saparuddin.

Dampak buruk bagi usaha ketiga pemilik gadde-gadde ini hadir dalam bentuk yang beragam. Beberapa menyebutkan bahwa terjadi perubahan pola belanja. Kalangan muda kini lebih memilih belanja di Alfamart atau Indomaret dengan alasan kenyamanan dan kemudahan akses belanja. Harga yang lebih murah juga menjadi alasan berpindah tempat berbelanja. Beberapa produk seperti susu formula, minyak goreng kemasan, minuman bervitamin, yang sebelumnya dijual di gadde-gadde tidak tampak lagi. Menurut mereka, tak ada lagi pembelinya. Jadi, ketimbang berisiko tak laku, mereka memilih tidak menjualnya lagi.

Dalam kenyataannya, di pasar-pasar modern, baik sekelas mini, super, maupun hypermarket, seringkali produk seperti ini dipromosikan secara berlebihan dengan berbagai tawaran diskon yang tinggi. Dalam strategi bisnis, cara seperti ini disebut predatory pricing atau mengambil risiko merugi beberapa waktu untuk membunuh pesaing yang bermodal kecil (biasa disebut juga sebagai wal-mart effect). Akibatnya, pembeli lebih senang membeli barang di pasar modern.

Pak Jono merasakan benar dampak politik dagang predatory pricing ini. Beberapa susu formula dan makanan ringan lainnya yang tak laku dan memasuki masa kadaluarsa tersimpan di gudang. Ia masih berharap pihak distributor membelinya kembali walau harganya sudah di bawah harga modal. Sejak itu, ia membatasi jumlah pembelian produknya. Praktik seperti ini kemudian mempengaruhi berubahnya pangsa pasar (market share), saat sebelumnya omzet penjualan gadde-gadde tinggi, namun turun terus dan peralihannya menuju minimarket modern seperti Alfamart, Indomaret, dan Alfa Midi.  (Bersambung)

(Ishak Salim, @isangkilang, peneliti AcSI [Active Society Institute] – Komunitas Ininnawa)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (166 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Comments

Tinggalkan Komentar