Tionghoa Peranakan di Makassar

Salah satu klenteng di perkampungan Tionghoa (dokumen KITLV)

Minggu lalu kami sudah bercerita tentang jejak kedatangan orang Tionghoa ke Makassar. Kali ini mencoba bercerita lebih banyak tentang jejak hidup kaum Tionghoa, khususnya Tionghoa peranakan di kota Makassar.

Seperti diceritakan minggu lalu, kaum Tionghoa yang datang ke Makassar pada abad 14 hingga abad ke 19 sebagian besar tanpa membawa keluarga. Waktu itu masih sedikit kaum wanita Tionghoa yang ikut merantau hingga ke Makassar. Ini menyebabkan banyaknya kaum Tionghoa pendatang yang kemudian menikah dengan penduduk asli di Makassar.

Kawin mawin ini kemudian menghasilkan keturunan yang disebut orang Tionghoa peranakan. Pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20, migrasi orang Tionghoa  semakin besar. Kali ini banyak dari mereka yang membawa keluarga dari tanah kelahiran ke tempat baru. Mereka inilah yang kemudian hidup turun temurun dan menjaga darah Tionghoa asli mereka. Orang menyebutnya sebagai Tionghoa totok.

Orang Tionghoa totok menjaga betul kemurnian darah mereka dan hanya mau menikah dengan sesamanya Tionghoa. Sebagian besar malah memilih untuk tinggal di daerah eksklusif, saat ini dikenal sebagai China Town atau pecinan. Berbeda dengan Tionghoa totok, orang Tionghoa peranakan benar-benar membaur dan harmonis dengan penduduk asli. Selama ratusan tahun orang Tionghoa peranakan dan orang Makassar saling mempengaruhi sehingga dapat ditemukan budaya maupun tatanan sosial orang Tionghoa dalam kehidupan orang Makassar serta sebaliknya.

Perlu dicatat bahwa meski telah menikah dengan orang Makassar (atau Bugis) namun orang Tionghoa peranakan tetap dapat dibedakan dengan ciri fisik yang sama dengan orang Tionghoa pada umumnya. Mereka berkulit putih cenderung kekuning-kuningan dengan rambut lurus dan mata sipit. Rupanya gen Tionghoa memang sangat kuat sehingga sangat dominan dalam menghasilkan keturunan dengan ciri fisk yang sama.

Dalam pola kekerabatan, terdapat perbedaan mencolok antara Tionghoa totok dengan Tionghoa peranakan. Keluarga inti dalam Tionghoa totok berisi ayah, ibu, anak dan menantu perempuan sedang dalam keluarga Tionghoa peranakan keluarga inti hampir sama dengan orang Makassar yaitu berisi ayah, ibu, anak dan menantu laki-laki.

Dalam struktur Tionghoa peranakan, ayah disapa dengan panggilan babaq. Ini menandakan sang ayah lebih dominan Makassarnya. Sedang untuk seorang ayah yang masih dominan darah Tionghoanya biasanya disapa dengan antia. Sementara untuk ibu yang sudah dominan darah Makassarnya disebut innyak atau anneq, sedang yang masih kental darah Tionghoanya disapa nio.

Isitlah lain dalam kekerabatan Tionghoa peranakan banyak mengadopsi istilah Makassar. Misalnya untuk saudara laki-laki tertua disebut angko lompo dan saudara perempuan tertua disebut aci lompo. Dalam bahasa Makassar lompo berarti besar. Ada juga istilah anko tangnga dan aci tangnga untuk kakak laki-laki dan kakak perempuan tengah. Tangnga dalam bahasa Makassar berarti tengah.

Dalam kehidupan sehari-hari kaum Tionghoa peranakan juga lebih sering menggunakan bahasa Makasar sebagai bahasa pengantar (belakangan menggunakan bahasa Indonesia atau dulu disebut bahasa Melayu). Mereka rata-rata sudah tidak dapat berbahasa Mandarin lagi. Berbeda dengan orang Tionghoa totok yang masih terus menjaga kebiasaan berbahasa Mandarin meski dalam lingkungan tertentu.

Pola Pemukiman Tionghoa Peranakan.

Dalam pola pemukiman orang Tionghoa peranakan ditemukan empat kategori: membaur dengan sesamanya Tionghoa peranakan, membaur dengan penduduk asli (Makassar), membaur dengan Tionghoa totok dan membaur dengan sesama Tonghoa peranakan, orang Makassar dan Tionghoa totok sekaligus.

Umumnya orang Tionghoa memang tinggal berkelompok dengan bentuk rumah yang berderet dalam satu wilayah. Pada masa pemerintahan kolonial oleh pemerintah Belanda mereka dikumpulkan di Kampung Malayu, tidak jauh dari benteng Fort Rotterdam pusat pemerintahan waktu itu. Kawasan untuk orang Tionghoa menjadi sangat tertutup, bahkan mereka harus beroleh ijin khusus bila ingin keluar dari kawasan tempat tinggal mereka. Sekarang kawasan Kampung Malayu disebut kawasan pecinan atau China Town.

Pemandangan di dalam daerah pecinan (koleksi daenggassing.com)

Selepas penghentian politik pengekangan oleh pemerintah Belanda itu, orang Tionghoa mulai menyebar ke banyak tempat di Makassar. Umumnya mereka tinggal di sepanjang jalan raya atau di tempat yang gampang dijangkau. Ini tentu saja untuk meneruskan kebiasaan mereka berdagang yang sudah dijalani secara turun temurun.

Pada umumnya orang Tionghoa membangun rumah mereka dengan dua lantai atau lebih. Lantai paling bawah untuk berdagang atau usaha lainnya dan lantai berikutnya sebagai tempat tinggal. Di kawasan pecinan juga dibangun pasar sebagai sarana sosial. Dulunya pasar ini berpindah-pindah di antara jalan Sulawesi, jalan Sangir, jalan Timor dan jalan Bacan. Saat ini pasar China menetap di jalan Bacan yang mulai beroperasi dari jam 05.00 subuh hingga jam 12.00 siang.

Orang Tionghoa juga membangun kawasan pekuburan untuk mereka sendiri. Dulunya kawasan pekuburan mereka ada di daerah sekitar Jl. Irian (sekarang sekitar Pasar Sentral) namun pada tahun 1972 karena dianggap sudah tidak tepat maka kuburan China dipindahkan ke kampung Batu Jangang, Panaikang.

Akibat perluasan kota (waktu itu masih bernama Ujung Pandang) maka areal pekuburan China di Panaikang kemudian dipindahkan lagi. Sebagian dipindahkan ke Pannara dan sebagian ke Bolangi. Di atas tanah bekas kuburan China kemudian dibangun kantor gubernur Sulawesi Selatan. Orang-orang Tionghoa Kanton juga membangun pekuburan di daerah Mawang (masuk Kabupaten Gowa).

Dalam mempersiapkan acara kematian beserta segala upacaranya, orang Tionghoa di Makassar punya sebuah yayasan khusus bernama Budi Luhur. Yayasan ini punya anggota 12 yayasan sejenis, salah satunya adalah Abdi Luhur. Abdi Luhur adalah yayasan yang dikelola oleh orang Tionghoa peranakan yang lebih banyak mengurusi acara kematian dari orang Tionghoa peranakan.

Di Makassar sendiri ada banyak organisasi serupa yang bertujuan mengurusi berbagai hal menyangkut kehidupan orang Tionghoa, baik yang totok maupun peranakan. Biasanya organisasi tersebut berdiri berdasarkankekeluargaan atau marga dan didasari kepercayaan. Misalnya keluarga atau marga Thung membangun organisasi yang mengurus rumah abu Thung tempat mereka meletakkan abu para leluhur. Rumah abu ini menjadi bagian dari tempat sembahyang orang Tionghoa atau yang disebut klenteng. Rumah abu Thung terletak di jalan Sulawesi. Pada waktu-waktu tertentu mereka berkumpul di sana dan melakukan ritual persembahyangan atau ritual lainnya. Selain rumah abu Thung di Makassar juga ada rumah abu Nio, Liem dan campuran.

Rumah abu campuran ini dibangun untuk memfasilitasi orang Tionghoa yang tidak mampu membangun rumah abu sendiri. Rumah abu ini juga biasanya dibangun berdasarkan jenis etnis mereka. Di Makassar ada rumah abu untuk orang Hokkian yang dikenal dengan nama Hokkian Kong Se. orang Tionghoa Makassar menyebutnya ballaq kongsia.

Dalam organisasi ini tampak jelas perbedaan antara orang Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok. Umumnya orang Tionghoa totok lebih aktif dalam menjalankan organisasi kemasyarakatan ini dibanding orang Tionghoa peranakan. Penyebab utamanya adalah karena orang Tionghoa peranakan sudah banyak yang beralih keyakinan dan memeluk agama Kristen atau bahkan Islam. Mereka kemudian merasa tidak perlu lagi ikut terlibat dalam ritual leluhur mereka, utamanya bagi yang beragama Islam.

Itulah cerita singkat tentang Tionghoa peranakan di Makassar. Di tulisan berikutnya kami akan membahas pengaruh Tionghoa peranakan dalam dunia perdagangan dan seni budaya di Makassar.

[Tim MksNolKm ; disarikan dari buku Cina Peranakan di Makassar oleh Shaifuddin Bahrum. Penerbit : Yayasan Baruga Nusantara]

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (174 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


One response on “Tionghoa Peranakan di Makassar

  1. Pingback: Tionghoa Peranakan Di Makassar [2] | Makassar Nol Kilometer·

Tinggalkan Komentar